Tuesday, March 12, 2013

Penanganan Korban Bencana Post Mortem

Halfian Tags
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI, bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak.

Suatu bencana dengan jumlah korban massal memiliki patokan yang berbeda- beda. Dari sudut pandang medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10 orang. Silver dan Souviron menyatakan patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi bencana, terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Sebagai contoh, jumlah lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Dengan demikian, menurut Hadjiiski, suatu bencana digolongkan sebagai bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari kapasitas tempat yang tersedia di masing-masing rumah sakit. Sedangkan menurut pedoman penanganan bencana di bidang kesehatan Menteri Kesehatan RI, korban massal adalah korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama dan perlu mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana, fasilitas, dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari- hari.
Penting untuk membedakan apakah suatu bencana bersifat terbuka atau tertutup. Bencana terbuka merupakan bencana besar yang menyebabkan kematian sejumlah orang yang tidak diketahui identitasnya dan tidak tersedia data yang jelas tentang para korban tersebut. Sulit untuk memperoleh informasi yang akurat tentang jumlah korban pada kejadian bencana jenis ini. Bencana tertutup adalah bencana besar yang menyebabkan kematian sejumlah orang yang memiliki identitas yang dapat diketahui dengan jelas (misalnya, kecelakaan pesawat yang memiliki data- data penumpang). Pada kasus bencana tertutup biasanya data antemortem dapat diperoleh dengan cepat.


PEMBAHASAN

Untuk penatalaksanaan korban mati akibat bencana mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal, maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. Untuk identifikasi korban mati akibat bencana tersebut dilakukan oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI).


STRUKTUR ORGANISASI TIM DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

Disaster Victim Identification (DVI) adalah istilah yang telah disepakati secara internasional untuk menggambarkan proses dan prosedur penemuan dan identifikasi korban mati akibat suatu bencana. Proses dan prosedur DVI atau identifikasi korban mati pada bencana massal mengacu pada prosedur DVI Interpol yang disesuaikan dengan kebijakan nasional.

Penanggung jawab DVI adalah kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi.

Struktur organisasi dalam tim DVI diperlukan untuk kontrol tim yang baik. Seorang investigator penanggung jawab ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam keseluruhan operasi. Investigator penanggung jawab bertugas untuk mengkoordinasi upaya penyelamatan hidup dan mengamankan barang bukti, untuk mengidentifikasi kematian dan menginvestigasi penyebab bencana. Tugas seorang investigator sangat banyak dan bervariasi sehingga untuk kontrol dan koordinasi yang efektif diperlukan beberapa pegawai kepolisian senior untuk membantunya. Paling sedikit diperlukan tiga orang asisten yang masing- masing bertanggung jawab untuk aspek-aspek mayor dari keseluruhan operasi. Ketiga asisten tersebut yaitu: Direktur Komunikasi, Direktur Operasi Penyelamatan, dan Direktur Identifikasi Korban.

Setiap direktur yang ditunjuk diberikan kewenangan untuk memperoleh peralatan dan anggota yang dibutuhkan. Mereka juga dibolehkan untuk menunjuk seorang koordinator untuk mengontrol suatu tugas yang bekerja di bawah perintah dan pengawasannya. Seorang koordinator perlu untuk menunjuk seorang kepala unit dan pemimpin tim sesuai kebutuhan untuk bertanggung jawab pada setiap aspek spesifik operasi.

Berikut ini diagram struktur organisasi tim Disaster Victim Identification (DVI) yang direkomendasikan oleh Interpol:

struktur organisasi tim Disaster Victim Identification (DVI)

Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah.

Proses Disaster Victim Identification

Disaster victim investigation (DVI) adalah suatu prosedur standar yang dikembangkan oleh Interpol (International Criminal Police Organization) untuk mengidentifikasi korban yang meninggal akibat bencana massal. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda. Poses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu : The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.

2.2.1 Fase TKP

Fase pertama ini dilaksanakan setelah para korban yang terluka telah dipindahkan dari area TKP dan area tersebut telah diamankan. Fase TKP dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP yang terdiri dari pemeriksa tempat kejadian perkara, fotografer, dan pencatat kejadian. Ahli patologi dan odontologi forensik mendukung setiap tim. Tim ini melakukan pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia.

Aturan umum yang berlaku di TKP adalah sebagai berikut:

1. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;

2. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang;

3. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan;

4. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;

5. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase kedua dan seterusnya.

Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:

1. Membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;

2. Memberikan tanda pada setiap sektor;

3. Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat.

4. Memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang tercecer;

5. Membuat sketsa dan foto setiap sektor;

6. Foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;

7. Isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM halaman B dengan keterangan sebagai berikut :
  • Pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila difoto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
  • Selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
  • Deskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas;
  • Keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM halaman B.
8. Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;

9. Formulir interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;

10. Masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan diberi label sesuai nomor properti;

11. Evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.

Tempat-penyimpanan-mayat
Tempat penyimpanan mayat

2.2.2 Fase Pemeriksaan Postmortem

Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada fase ini tubuh korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.

Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;

2) Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barang‐barang;

3) Membuat foto jenazah;

4) Mengambil sidik jari korban dan golongan darah;

5) Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;

6) Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada mayat;

7) Melakukan pemeriksaan gigi‐geligi korban;

8) Membuat rontgen foto jika perlu;

9) Mengambil sampel DNA;

10) Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;

11) Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang ditemukan di TKP;

12) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.

Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut :

1) Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain;

2) Dicatat nomor jenazah;

3) Foto keseluruhan sesuai apa adanya;

4) Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya);
Contoh-pengambilan-sidik-jari
Contoh pengambilan sidik jari

5) Deskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan dikumpulkan serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan untuk mengambil foto jika dianggap penting dan khusus);

6) Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian dikumpulkan dan diberi nomor sesuai nomor jenazah;
Contoh-barang-milik-pribadi
Contoh barang milik pribadi

7) Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki yang meliputi :
  •      Identifikasi umum (jenis kelamin‐umur‐BB‐TB, dll);
  •      Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll).
8) Lakukan bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipnya mencari kelainan yang khas, penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas operasi dan lain‐lain;

9) Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain‐lain;

10) Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban;

11) Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik.
Contoh-foto-rontgen-telapak-tangan
Contoh foto rontgen telapak tangan

Urutan pemeriksaan gigi‐geligi :

1) Pemeriksaan dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensik;

2) Jenazah diletakkan pada meja atau brankar;

3) Untuk memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan kayu pada punggung atas/bahu sehingga kepala jenazah menengadah ke atas;

4) Pemeriksaan dilakukan mulai dari bibir, pipi, dan bagian‐bagian lain yang dianggap perlu;

5) Guna memperoleh hasil pemeriksaan yang maksimal, maka rahang bawah harus dilepaskan dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas dikupas ke atas agar gigi tampak jelas kemudian dibersihkan. Hal ini untuk mempermudah melakukan pemeriksaan secara teliti baik pada rahang atas maupun bawah;

6) Apabila rahang atas dan bawah tidak dapat dipisahkan dan rahang kaku, maka dapat diatasi dengan membuka paksa menggunakan tangan dan apabila tidak bisa dapat menggunakan `T chissel’ yang dimasukkan pada region gigi molar atas dan bawah kiri atau kanan atau dapat dilakukan pemotongan musculus masetter dari dalam sepanjang tepi mandibula sesudah itu condylus dilepaskan dari sendi;

7) Catat kelainan‐kelainan sesuai formulir yang ada;

8) Lakukan rontgen gigi;

9) Bila perlu rontgen tengkorak jenazah;
Contoh-foto-Rontgen-kepala
Contoh foto Rontgen kepala
10) Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih lanjut.
Foto-Gigi-geligi
Foto Gigi-geligi

2.2.3 Fase Pengumpulan Data Antemortem

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar Interpol.

Kegiatan pada fase ketiga dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Menerima keluarga korban;

2) Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana tersebut;

3) Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, rs/puskesmas/klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;

4) Data‐data antemortem gigi‐geligi;

Data‐data antemortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat. Sumber data‐data antemortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari :
  • Klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta;
  • Lembaga‐lembaga pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta;
  • Praktek pribadi dokter gigi.
5) Mengambil sampel DNA pembanding;

6) Apabila diantara korban ada warga negara asing maka data‐data antemortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan negara asing (kedutaan/konsulat);

7) Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;

8) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

2.2.4 Fase Rekonsiliasi

Form data antemortem dan postmortem yang telah selesai selama fase pertama dan kedua dibandingkan selama fase rekonsiliasi. Perbandingan ini dicapai secara sistematis menggunakan bagan rekonsiliasi dan masing- masing dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, dan umur. Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data antemortem dan postmortem dengan kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.

Kegiatan pada fase rekonsiliasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP, Unit Postmortem dan Unit Antemortem;

2) Mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat Rekonsiliasi;

3) Mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Postmortem dan Unit Antemortem untuk korban yang belum dikenal;

4) Membandingkan data antemortem dan postmortem;

5) Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;

6) Mengumpulkan hasil identifikasi korban;

7) Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;

8) Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.

2.2.5 Fase Debriefing

Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi.

Berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan pada fase debriefing:

1) Melakukan analisa dan evaluasi terhadap keseluruhan proses identifikasi dari awal hingga akhir;

2) Mencari hal yang kurang yang menjadi kendala dalam operasi DVI untuk diperbaiki pada masa mendatang sehingga penanganan DVI selanjutnya dapat menjadi lebih baik;

3) Mencari hal yang positif selama dalam proses identifikasi untuk tetap dipertahankan dan ditingkatkan pada operasi DVI mendatang.

2.3 METODE DAN TEKNIK IDENTIFIKASI

Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu :

a) Metode Sederhana
  1. Visual
  2. Kepemilikan (perhiasan dan pakaian)
  3. Dokumentasi
b) Metode Ilmiah
  1. Sidik jari
  2. Serologi
  3. Odontologi
  4. Antropologi 
  5. Biologi molekuler.
Saat ini berdasarkan standar Interpol untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :

a) Metode Identifikasi Primer:
  1. Sidik jari
  2. Gigi geligi
  3. DNA.
b) Metode Identifikasi Sekunder:
  1. Medik
  2. Properti.
Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena melibatkan faktor psikologi keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih dll).

Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan dua kemungkinan :

1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan identifikasi;

Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel DNA. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas‐batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data‐data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.

2) Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut;

Disini dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.

Disamping ciri‐ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Tehnik yang digunakan dikenal sebagai superimpossed technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.

2.4 PRINSIP IDENTIFIKASI

Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan data‐data korban (data postmortem) dengan data dari keluarga (data antemortem), semakin banyak kecocokan akan semakin baik. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data medis, property harus dikombinasikan untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.

Identifikasi terhadap mayat dapat dikatakan positif apabila minimal satu dari metode identifikasi primer adalah cocok atau jika tidak ada yang cocok dari metode identifikasi primer, maka seluruh metode identifikasi sekunder harus cocok. Penentuan identifikasi ini dilakukan di dalam rapat rekonsiliasi. Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, me‐review kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan sesuai prosedur dan berdasarkan prinsip ilmiah.

2.5 TATA LAKSANA KORBAN YANG TERIDENTIFIKASI

Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi antara lain:

1) Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah

2) Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)

3) Perawatan sesuai agama korban

4) Memasukkan dalam peti jenazah.

Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Tim Unit Rekonsiliasi berikut surat‐surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain:

1) Tanggal (hari, bulan, tahun) dan jamnya

2) Nomor registrasi jenazah

3) Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban

4) Dibawa kemana atau akan dimakamkan di mana.

Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dapat dilaksanakan oleh unsure Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman dengan dibantu seorang dokter spesialis forensik dalam teknis pelaksanaannya.

2.6 TATA LAKSANA KORBAN YANG TIDAK TERIDENTIFIKASI

Salah satu keterbatasan yang akan timbul di lapangan adalah adanya kemungkinan korban yang tak teridentifikasi. Hal ini mungkin saja disebabkan seringkali begitu banyaknya laporan korban atau orang hilang sedangkan yang diperiksa tidak sama jumlahnya seperti yang dilaporkan. Atau pada kecelakaan pesawat misalnya, pada passenger list terdapat sejumlah penumpang termasuk crew pesawat, namun setelah terjadi bencana dan pada waktu korban ditemukan untuk diperiksa ternyata kurang dari jumlahnya dari daftar penumpang pesawat tersebut.

Dalam proses identifikasi pada kenyataannya tidaklah selalu mudah walaupun data antemortemnya lengkap. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain:

1) Keadaan jenazah yang ditemukan dalam kondisi:
  • Mayat membusuk lanjut, tergantung derajat pembusukannya dan kerusakan jaringannya, atau mayat termutilasi berat dan kerusakan jaringan lunak yang banyak maka metode identifikasi yang digunakan sidik jari bila masih mungkin atau dengan ciri anatomis dan medis tertentu, serologi, DNA atau odontologi;
  • Mayat yang telah menjadi kerangka, identifikasi menjadi terbatas untuk sedikit metode saja yaitu: serologis, ciri anatomis tertentu dan odontologi.
2) Tidak adanya data antemortem, tidak adanya data orang hilang atau sistem pendataan yang lemah;

3) Jumlah korban yang banyak, baik pada populasi yang terbatas ataupun pada populasi yang tak terbatas.

Menjadi suatu masalah, jika ahli waris keluarga korban meminta surat kematian untuk kepentingan administrasinya seperti akta kematian, pengurusan warisan, asuransi dan sebagainya, sedangkan Tim DVI tidak mempunyai data postmortemnya oleh karena memang tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak ditemukan jasad atau bagian tubuhnya. Lalu sampai berapa lama orang yang hilang dalam suatu bencana jika tidak ditemukan atau tidak diperiksa bisa dikatakan meninggal dan dikeluarkan surat kematiannya? Salah satu solusi adalah dilakukannya kesepakatan bersama antara beberapa ahli hukum dengan Tim DVI untuk berdiskusi dari situasi dan kondisi bencana, alasan tidak ditemukannya dan sebagainya. Selanjutnya hasil keputusan tersebut diajukan ke pengadilan dan menghasilkan suatu ketetapan, yang berdasarkan keputusan pengadilan inilah kemudian dipakai sebagai acuan untuk menentukan orang tadi dinyatakan sudah meninggal serta dikeluarkannya surat kematian.

Apabila dalam proses tersebut ada yang tidak teridentifikasi, maka Tim DVI melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan penguburan massal dengan beberapa ketentuan antara lain mayat harus diambil sampel DNAnya terlebih dahulu dan dikuburkan dengan dituliskan nomor label mayat pada bagian nisannya.

2.7 BEBERAPA HAL PENTING BERKAITAN DENGAN TATA LAKSANA

Penting untuk memperhatikan legalitas dan pengaturan pada organisasi dan prosedur DVI, serta pendataan antemortem, yaitu sidik jari dan odontologi. Networking yang dapat terdiri dari kerjasama, koordinasi, pelatihan, pembagian informasi dan lain‐lain harus diperbaiki dan dikontrol dengan baik. Berikan perhatian juga terhadap sarana dan fasilitas seperti lemari pendingin atau tempat agar mayat tidak cepat membusuk (cold storage), fasilitas tempat pemeriksaan jenazah, kantung jenazah, insektisida, peralatan otopsi dan alat pendukung lainnya. Sebagai catatan kamar mayat rumah sakit, untuk korban mati dalam jumlah yang banyak, melebihi kapasitas tampung jenazah di rumah sakit tersebut, maka dapat dipilih untuk menggunakan fasilitas kamar jenazah yang dimiliki oleh rumah sakit sekitar atau mendatangkan kontainer dengan fasilitas pendingin.

III. DAFTAR PUSTAKA
1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1653/Menkes/SK/XII/2005 Tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan.

2. Henky dan Safitry O. Identifikasi korban bencana massal: praktik DVI antara teori dan kenyataan. Ind journal of legal & forensic sciences 2012; 2(1): 5-7.

3. International Criminal Police Organization (INTERPOL). Disaster victim identification guide. 2009.p.4-10

4. Mudjiharto, et al. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana edisi revisi. 2011.

5. National Policing Improvement Agency (NPIA). Guidance on disaster victim identification. London : ACPA, ACPOS, NPIA, 2011.p.11

6. Hariadi H. Disaster Victim Identification. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal edisi ketujuh. Surabaya : Fakultas Kedokteran Airlangga; 2010.h.355-8

7. International Criminal Police Organization (INTERPOL). Disaster victim identification guide. 1997.

8. James JP, Byard R, et al. Encyclopedia of forensic and legal medicine volume 1, first edition. London: Academic Press, 2005.p.297-8.

9. Siegel J ,Knupfer G, et al. Encyclopedia of Forensic science three volume edition. USA: Elsevier.2000. p.1454

10. Shkrum MJ, Ramsay DA. Post Mortem Changes. In: Forensic Pathology of Trauma. New Jersey : Humana Press; 2007.p.50

11. Dix J. Identification. In Colour Atlas of Forensic Pathology. London: CRC Press. 2000.p. 27-8

12. Dolinak D, Matses E, et al. Post Mortem Changes. In : Forensic Pathology Principles and Practice. UK : Elvier Academic Press; 2005.p.545