Monday, February 15, 2016

Sekilas Malaria

Malaria adalah penyakit yang berpotensi mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi protozoa jenis Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina yang infektif. Infeksi Plasmodium falciparum membawa prognosis yang buruk dengan angka kematian yang tinggi jika tidak diobati, tetapi memiliki prognosis yang sangat baik jika didiagnosis dini dan diobati dengan tepat.
plasmodium-dalam-saliva-nyamuk-anopheles-betina
plasmodium dalam liur nyamuk anopheles betina

Gejala dan Tanda Malaria
Pasien dengan malaria biasanya memberi gejala beberapa minggu setelah infeksi, meskipun periode inkubasi dan munculnya gejala dapat bervariasi pada tiap individu,secara umum tergantung pada faktor host dan spesies penyebab.

Beberapa gejala klinis yang sering ditemukan meliputi:
  • Sakit kepala (ditemukan pada hampir semua pasien dengan malaria)
  • Batuk
  • Kelelahan
  • Rasa tidak enak
  • Menggigil
  • Arthralgia (nyeri sendi)
  • Mialgia (nyeri otot)
  • Serangan demam yang tiba-tiba disertai menggigil, dan berkeringat (setiap 48 atau 72 jam, tergantung pada spesies malaria yang menyerang)
Sementara gejala yang kurang umum ditemukan adalah sebagai berikut:
  • Anoreksia dan lesu
  • Mual dan muntah
  • Diare
  • Penyakit kuning
  • Kebanyakan pasien dengan malaria tidak memiliki temuan fisik tertentu, tetapi mungkin terdapat pembesaran limpa (splenomegali). Malaria berat bermanifestasi sebagai berikut:
  • Malaria serebral (kadang-kadang sampai koma)
  • Anemia berat
  • Gangguan pernafasan: termasuk asidosis metabolik, edema paru; tanda-tanda sindrom hyperpneic malaria, retraksi dada, penggunaan otot aksesori untuk respirasi, dan pernapasan  dalam abnormal
  • Gagal ginjal (biasanya reversibel)
Diagnosis Malaria
Anamnesis riwayat pasien harus mencakup pertanyaan dasar seperti :
  • Apakah baru saja melakukan perjalanan jauh ke daerah endemik
  • Status imun, usia, dan status kehamilan
  • Alergi atau kondisi medis lainnya
  • Obat-obatan yang mungkin sedang dikonsumsi saat ini
Pemeriksaan darah meliputi :
  • Kultur darah
  • Konsentrasi hemoglobin
  • Jumlah trombosit
  • Fungsi hati
  • Fungsi ginjal
  • Konsentrasi elektrolit (terutama natrium)
  • Pemantauan parameter sugestif untuk hemolisis (haptoglobin, laktat dehidrogenase [LDH], jumlah retikulosit)
  • Pada beberapa kasus, tes HIV cepat (rapid test)mungkin diperlukan
  • Jumlah sel darah putih: Kurang dari 5% penderita malaria memiliki leukositosis; dengan demikian, jika ditemukan leukositosis, penegakan diagnosis harus diperluas
  • Jika pasien harus diterapi dengan primakuin, periksalah kadar enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
  • Jika pasien memiliki malaria cerebral, periksa kadar glukosa untuk menyingkirkan hipoglikemia
Pemeriksaan radiologi berikut dapat dipertimbangkan  :
  • Radiografi Thorax, jika ditemukan gejala gangguan pernapasan
  • CT-Scan kepala, jika ditemukan gejala sistem saraf pusat
Tes spesifik untuk infeksi malaria harus dilakukan, sebagai berikut:
  • Mikrohematokrit sentrifugasi (sensitif tapi tidak spesifik)
  • Pewarna neon / tes indikator ultraviolet (mungkin tidak menghasilkan informasi spesifik)
  • Pemeriksaan apusan (smear) darah yang standar baik tipis (kualitatif) maupun tebal (kuantitatif): Perhatikan bahwa 1 smear negatif tidak mengecualikan malaria sebagai diagnosis; beberapa smear harus diperiksa dalam kurun 36 jam.
  • Pemeriksaan lab alternatif selain smear darah (digunakan jika hasil smear darah tidak memadai): Termasuk rapid test, PCR, amplifikasi asam nukleat berbasis urutan (sekuensial), dan buffy coat kuantitatif.
Secara histologis, berbagai spesies Plasmodium yang menyebabkan malaria dapat dibedakan berdasar pada :
  • Kehadiran bentuk awal parasit dalam darah perifer
  • Kalikan terinfeksi sel darah merah
  • Usia sel darah merah yang terinfeksi
  • Bintik Schüffner
  • Fitur morfologis lainnya
Penatalaksanaan Malaria
Pilihan pengobatan malaria ditentukan oleh jenis spesies yang menyebabkan infeksi, meliputi :
  • Plasmodium falciparum
  • Plasmodium vivax
  • Plasmodium ovale
  • Plasmodium malariae
  • Plasmodium knowlesi
Di Amerika Serikat, pasien dengan infeksi plasmodium falciparum sering memerlukan rawat inap untuk memungkinkan pengamatan terhadap komplikasi yang mungkin muncul. Pasien dengan malaria selain Plasmodium falciparum yang secara fisik baik, biasanya dapat diobati secara rawat jalan.
Rekomendasi umum untuk pengobatan malaria secara farmakologis adalah sebagai berikut:
  • Plasmodium falciparum : Terapi berbasis kina (atau kuinidin) sulfat ditambah doxycycline atau klindamisin atau pyrimethamine-sulfadoksin; sebagai alternatif gunakan artemeter-lumefantrine, atovakuon-proguanil, atau mefloquine.
  • Plasmodium falciparum yang tidak resisten klorokuin (hanya beberapa daerah di Amerika Tengah dan Timur Tengah): Klorokuin
  • Plasmodium vivax, P ovale malaria: Klorokuin ditambah primakuin.
  • Plasmodium malaria : Klorokuin.
  • Plasmodium knowlesi : rekomendasi Sama seperti untuk Plasmodium malaria falciparum
Wanita hamil (terutama primigravida) dapat 10 kali lebih mungkin untuk terkena malaria daripada wanita nongravid dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menderita malaria berat.
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk pengobatan malaria pada kehamilan meliputi :
  • Klorokuin
  • Kina
  • Atovakuon-proguanil
  • Klindamisin
  • Meflokuin (hindari pada trimester pertama)
  • Sulfadoksin-pirimetamin (hindari pada trimester pertama)
  • Artemeter-lumefantrine
  • Artesunat dan antimalaria lainnya

Friday, February 5, 2016

Obat Pelumpuh Otot

Halfian Tags
Obat pelumpuh otot, baik golongan depolarizing maupun non depola-rizing, merupakan salah satu yang paling sering digunakan dalam anestesi. Sejarah penggunaan pelumpuh otot dimulai setelah ditemukannya curare dan di bawa ke Eropa dari Amerika Selatan oleh Charles Watweton pada tahun 1825. Namun penggunaannya secara rutin barulah setelah lebih 100 tahun kemudian, setelah ditemukannya cara pemberian napas buatan yang aman.

neuromuskular-junction
neuromuscular-junction, 
titik kerja obat pelumpuh otot


Saat ini begitu banyak muscle relaxant yang digunakan dalam klinik, yang efek farmakologinya sangat bervariasi tergantung dari sifat blokade reseptor yang spesifik dan mekanisme blokade neuro muskuler. Selain obat-obat muscle relaxant jenis non depolarizing yang sudah sering dipakai seperti curare dan pancuranium bromide, serta obat depolarizing succynylcholin, banyak muscle relaxant baru yang diperkenalkan ke dalam praktek anestesi dalam usaha untuk memperbaiki lama kerja (duration of action), masa kerja (onset of action) dan mengurangi efek samping yang tidak diinginkan.

Penelitian atau pengembangan obat muscle relaxant baru dikaitkan dengan upaya untuk mendapatkan obat muscle relaxant yang ideal, yang mempunyai sifat-sifat antara lain :
1. Non Depolarizing
2. Short Acting
3. Rapid Onset
4. No Histamint Release
5. No Cardiovasculer effect
6. No cumulative
7. High Potency
8. Pharmacologically Inactive Metabolites
9. Reversible by Cholinesterase Inhibitors
10. Rapid Recovery
A. FISIOLOGI TRANSMISI BLOKADE NEUROMUSKULER

Neuromuscular junction (NMJ) terdiri dari 2 bagian besar yaitu ujung saraf motorik (motor nerve terminal) dan end plate motorik dari otot bergaris (skeletal muscle end plate). Keduanya dipisahkan oleh celah sinaptik yang berisi cairan ekstraseluler. Ujung saraf motorik merupakan serabut saraf tidak bermyelin dan mengandung mitokondria, endoplasmic reticulum dan vesikel-vesikel sinaptik yang semuanya berhubungan dengan pembentukan dan penyimpanan asetilkolin.

Motor end plate merupakan membran berlipat-lipat yang letaknya berlawanan dengan ujung saraf, dan dipisahkan jarak 200 – 300 Angstrom (disebut celah sinaptik) dari membran ujung saraf motorik. Reseptor kolinergik yang merupakan tempat pengikatan asetilkolin terletak di membran pre sinaptik (pre junctional) dan post sinaptik (post junctional) dan dekat reseptor-reseptor ini terdapat enzim asetilcholinesterase, sedangkan plasma cholinesterase terdapat di celah sinaptik.

Meskipun ada bukti-bukti mengenai adanya reseptor kolinergik pre sinaptik d ujung saraf motorik yang sifatnya berbeda dengan reseptor post junctional, belum banyak sifat-sifatnya yang diketahui dibandingkan dengan reseptor kolinergik post junctional, sehingga yang akan dibahas lebih lanjut mengenai reseptor post junctional yang paling banyak berperan dalam transmisi neuromuskuler.

Reseptor ini terletak berlawanan dengan tempat pelepasan asetilkolin di bagian ujung saraf motorik. Reseptor ini berupa protein dengan berat molekul 200.000 dalton, dan terdiri dari 5 glikoprotein yaitu alpha, beta, gamma, dan delta. Reseptor ini mengandung 2 subunit alpha dan 3 unit yang lain. Sub-unit-sub unit ini tersusun secara longitudinal sehingga membentuk sebuah saluran yang menyebabkan ion-ion dapat bergerak berdasarkan perbedaan gradiennya. Ion Na dan Ca bergerak masuk ke dalam otot sedangkan ion K bergerak sebaliknya.

Jika agonis asetilkolin terikat pada kasus sub unit alpha ini, protein mengalami perubahan konfirmasi yang menyebabkan saluran terbuka, ion-ion bergerak masuk dan membran mengalami depolarisasi, terjadilah transmisi neuromuskular.

Jadi reseptor kolinergik mempunyai dua fungsi utama :

1. Mengenali neurotransmitter asetilkolin
2. Membuka saluran ion-ion sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran

Baik agonis asetilkolin (misalnya suksinilkolin), amupun antagonis asetilkolin (misalnya golongan non depolarizing) dapat terikat pada sub unit alpha dari reseptor asetilkolin ini. Bedanya pada golongan antagonis (kompetitif) hanya menduduki satu sub unit alpha sehingga saluran ion tetap tertutup dan tidak terjadi depolarisasi sehingga tidak terjadi pelepasan asetilkolin ke reseptor, terjadilah blokade neuro muskuler.

Beberapa obat dapat mengganggu transmisi neuromuskuler, ini disebabkan ujung saluran (channel) bagian ekstraseluler lebih lebar daripada bagian yang menjorok masuk ke membran sel. Diduga molekul-molekul yang besar dapat menyumbat saluran ini dan menghambat aliran ion melalui saluran, yang disebut CHANNEL BLOKADE.

Obat-obat yang dapat menyebabkan channel blokade ini antara lain anestesi lokal, beberapa antibiotika, d-tubocurarine dan decamenthonium. Beberapa obat mungkin juga masuk ke saluran dan menutup saluran tersebut dalam keadaan terbuka, ini disebut SIMPLE OPEN CHANNEL BLOKADE, contohnya adalah beberapa obat anestesi lokal (lidokain, prokain) dan golongan barbiturat.

Reseptor-reseptor ini terdapat dalam mebran otot tetapi jumlahnya dalam keadaan normal sedikit pada orang dewasa. Jika saraf motorik tidak aktif, misalnya pasien yang mengalami denervasi, cedera tulang belakang (spinal cord injury), stroke atau immobilisasi yang lain, reseptor ekstra junction ini mengalami proliferasi.

Reseptor extra junctional ini sangat responsif terhadap obat-obat agonis seperti succynilcholin, dan tidak responsif terhadap obat-obat antagonis seperti d-tubocurarine. Diperkirakan proliferasi dari reseptor extra junctional ini yang dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia sesudah pemberian succynilcholine. Potensial membran istirahat dari otot dan saraf dipertahankan karena adanya distribusi ion yang tidak sama antara ion natrium dan kalium di antara kedua membran, ion yang lebih permeabel adalah kalium, dan perbandingan antara ion kalium di luar sel dengan di dalam sel adalah 1 : 30.

Membran sel dalam keadaan istirahat secara relatif tidak permeabel terhadap ion natrium karena adanya pergerakan secara terus-menerus ion natrium ini oleh mekanisme pompa sodium (sodium pump). Dengan demikian ion kalium dan protein lebih terkonsentrasi di dalam sel, sedangkan ion natrium dan klorida di luar sel.

Besarnya potensial membran istirahat berkisar antara –90 mV, dimana bagian dalam lebih negatif dibandingkan bagian luar. Dalam keadaan ini disebut keadaan TERPOLARISASI. Jika terjadi potensial aksi maka permeabilitas membran terhadap natrium dan kalium akan meningkat sehingga potensial transisi membran ini turun menjadi 0, sekarang bagian dalam menjadi positif dibandingkan bagian luarnya.

Zat yang menjadi transmitter pada neuromuscular junction adalah asetilkolin, yang merupakan ester amonium kwartener. Asetilkolin yang sudah disintesis ini disimpan dalam vesikel-vesikel sinaptik di ujung saraf motorik, dan dilepaskan ke celah sinaptik dalam bentuk paket atau kwanta, yang mengandung kira-kira 1000 molekul asetilkolin.

Jika tidak ada stimulasi, kwanta ini akan dilepaskan secara acak (random) dan menyebabkan adanya potensial membran mini sebesar 0,5 – 1 mV yang dapat terekam pada otot bergaris.Potensial end plate ini menunjukkan adanya pelepasan kwanta asetilkolin waktu vesikel tersebut pecah, tetapi potensial ini tidak menyebabkan voltage yang c ukup untuk menimbulkan depolarisasi otot bergaris.

Sebaliknya jika ada stimulasi saraf, akan menyebabkan pelepasan ratusan kwanta asetilkolin yang akan terikat pada reseptor kolinergik pada membran post sinaptik, yang akan menimbulkan peningkatan permeabilitas membran terhadap ion natrium dan kalium, akibat potensial trans membran turun. Jika potensial trans membran ini turun dari –90 mV (dalam keadaan istirahat) menjadi –45 mV, terjadilah potensial aksi dan depolarisasi dari membran-membran otot sekelilingnya, yang akan menyebar ke seluruh serabut otot sehingga timbul kontraksi otot.

Setelah terikat pada reseptor asetilkolin, asetilkolin akan dihidrolisa oleh enzim asetilkolinesterase menjadi asam asetat dan kolin. Jika efek asetilkolin terhadap reseptor sudah hilang, permeabilitas membran terhadap asetilkolin akan kembali terhadap ion kalium dan natrium, kembalilah keadaan repolarisasi. Hidrolisa dari asetilkolin dikatakan terjadi dalam 15 milisekon, sehingga kolin kembali bebas untuk masuk ke saraf untuk resintesa kembali.

Untuk pelepasan asetilkolin dalam bentuk kwanta diperlukan ion Calcium. Diduga keadaan depolarisasi menyebabkan saluran calcium terbuka pada membran ujung saraf motorik. Mungkin juga nukleotida terlibat dalam terjadinya pemasukan ion Ca ke ujung saraf. Diduga potensial aksi saraf mengaktifkan adenilatsiklase pada membran ujung saraf, yang menyebabkan perubahan ATP menjadi cAMP ini kemudian bekerja pada protein kinase, yang membuka saluran ion Calsium menyebabkan vesikel-vesikel sinaptik bergabung dengan membran saraf dan terjadilah pelepasan asetilkolin. Kemudian cAMP ini diinaktivasikan oleh phosphodiesterase.

Dibuktikan dalam percobaan binatang bahwa obat-obat yang menghambat phospho-diesterase seperti : Theophyline dan perangsang adenilatsiklase seperti Protaglandin E akan merangsang transmisi neuromuskuler. Sebaliknya Calcium antagonis seperti Verapamil dapat menghalangi pelepasan asetilkolin.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BLOKADE NEUROMUSKULER

Blokade neuromuskuler dipengaruhi oleh beberapa hal :
1. INTERAKSI OBAT
a. Antibiotika
b. Antikolinesterase
c. Antiaritmia
d. Anestesi lokal
e. Anestesi Inhalasi

2. ELEKTROLIT
a. Natrium
b. Kalium
c. Calcium
d. Magnesium

3. KESEIMBANGAN ASAM BASA

4. HIPOTHERMIA

5. PENYAKIT TERTENTU
a. Ginjal
b. Hepar
c. Penyakit neuromuskular

6. UMUR
1. INTERAKSI OBAT

Selain obat anestesi, ada banyak obat-obat lain yang dapat mengganggu transmisi neuromuskular. Meskipun obat-obat ini biasanya tidak menyebabkan perpanjangan efek obat penghambat neuromuskular pada waktu akhir operasi dan depresi nafas pasca operasi.

Beberapa mekanisme yang menyebabkan interaksi obat ini adalah :
  • Hambatan pre sinaptik untuk potensial aksi saraf
  • Gangguan pelepasan asetilkolin karena gangguan penyimpanan, atau gangguan sintesanya di ujung saraf motorik
  • Blokade reseptor post sinaptik
  • Gabungan blokade pre dan post sinaptik

a. Antibiotika

Antibiotika Neomycin, Streptomycin, Dehydro Streptomycin, kanamycin, Gentamycin, polymyxin A, Polymyxin B, Colistin Lincomycin dan Tetracycline telah dibuktikan dapat memperpanjang efek dari obat penghambat neuromuskular jenis non depolarizing.

Mekanisme kerjanya tidak sama untuk semua antibiotika, diperkirakan antibiotika ini mempunyai efek pre sinaptik, post sinaptik atau kedua-duanya. Golongan aminoglikosida diperkirakan mempunyai efek seperti ion magnesium yang menghambat pelepasan asetilkolin dan ujung saraf pre sinaptik dan menyebabkan stabilitas membran post junctional.

Ada juga antibiotika yang dapat meningkatkan aktivitas suksinilkolin yaitu Neomycin, Chloramphenicol, dan golongan Cephalosporin.

Blokade neuromuskular yang disebabkan oleh golongan aminoglikosida kadang-kadang dapat di antagonisir sebagian oleh Calcium dan Neostigmine.

b. Antikolinesterase

Ecothiopate, Tetrahydriaminoacrine, Hexafluornium, Procaine, Phenelzine, Chlorpromazine, dan insektisida organophosphat dapat menghambat plasma kolinesterase sehingga dapat memperpanjang kerja suksinilkolin.

c. Obat antiaritmia

Propanolol, Quinidine dan Prokainamid dapat memperhebat kerja obat penghambat neuromuskular.

d. Anestesi lokal

Prokain, lidocain memperhebat kerja blok yang disebabkan baik oleh golongan depolarizer.

e. Obat anestesi inhalasi

Semua obat anestesi inhalasi memperhebat derajat dan lama kerja obat penghambat neuromuskular maupun non depolarizer.

Mekanisme kerjanya adalah :
  • Depresi susunan saraf pusat
  • Inhibisi pre sinaptik untuk pelepasan asetilkolin
  • Desensitisasi reseptor post sinaptik
  • Kerja pada otot distal dari reseptor kolinergik

Penelitian klinis menunjukkan bahwa obat anestesi inhalasi mempercepat kerja obat penghambat neuromuskular tergantung dosisnya, dengan urutan isoflurane dan enflurane > Halotane > N2O dan Narkotik.

2. KADAR ELEKTROLIT

Terjadinya potensial aksi otot dan saraf dipengaruhi oleh kadar elektrolit terutama natrium dan kalium dan dipertahankannya kadar elektrolit ini adalah perbandingan tertentu. Sehingga terganggunya keseimbangan elektrolit ini akan mempengaruhi transmisi neuromuskular. Hipokalemia (Penurunan ekstraseluler) akan meningkatkan potensial trans membran sehingga terjadi keadaan hiperpolarisasi dan akibatnya resisten terhadap obat golongan depolarizing tetapi sensitif terhadap golongan non depolarizing, hal yang sama juga terjadi hiponatremia.

Ion calcium diperlukan untuk pelepasan asetilkolin dari ujung saraf motorik secara kwanta, dan menurunkan sensitivitas membran post junctional terhadap asetilkolin. Sedangkan ion magnesium bertindak sebaliknya yaitu menghambat pelepasan asetilkolin dan meningkatkan sensitivitas membran post junctional.

Jadi kerja obat non depolarizing diperhebat oleh kadar calcium yang rendah dan kadar magnesium yang tinggi (Hipocalcemia & hipermagnesia).

Oleh sebab itu pemakaian non depolarizing relaxant harus sangat berhati-hati pada pasien pre eclampsia/eclampsia yang mendapat terapi Mg2So4.

3. KESEIMBANGAN ASAM BASA

Respiratori asidosis memperpanjang kerja d-tubocurarine dan pancuronium serta menghambat secara reversal oleh neostigmine. (MILLER dkk).FUNK dkk dalam penelitiannya dengan Vecuronium juga menemukan hal yang sama, sedangkan alkalosis mengurangi blokade neuromuskular. GENCARELLI menemukan bahwa perubahan end tidal PCO2 yang menentukan pengaruhnya terhadap Vacurenium.

Jika end tidal PCO2 25,41 dan 56 mmHg tidak ada perubahan dalam, tidak terjadi perubahan pada recovery indkes maupun derajat blokade neuromuskular. Tetapi jika Vecuronium tersebut diberikan secara konstan dengan infus kontinyu dan kemudian end tidal PCO2 nya diubah. Terjadi perpanjangan efek Vecuronium pada respiratori acidocis dan pengurangan efek pada keadaan alkalosis.

Pengaruh asam basa ini pada kerja Atracurium belum pernah diselidiki pada manusia, tetapi percobaan dengan kucing menunjukkan hasil yang sama.

4. HIPOTHERMIA

Hipothermia menyebabkan perubahan farmakodinamik dan farmako-kinetik obat-obatan penghambat neuromuskular. Pada kucing penurunan uhu menjadi 34 derajat dan 28 derajat memperpanjang blokade yang disebabkan oleh tubokurarine dan pankouronium. Penyebabnya adalah metabolisme obat yang menurun pada hipothermia, eliminasi oleh hepar dan ginjal menurun. Disamping itu hipothermia jua meningkatkan sensitivitas membran neuromuscular janction.

Hipothermia juga memperpanjang lama kerja vecuronium dan atracurium serta mengurangi kebutuhan infus kontinyu untuk memper-tahankan derajat blok yang konstan. Hal ini disebabkan juga oleh menurunnya metabolisme atracurium dan vecuronium dalam keadaan hipothermia.

5. PENYAKIT TERTENTU

A. Penyakit Ginjal

Hampir semua obat penghambat nuromuskular jangka panjang tergantung pada ginjal untuk eliminasinya. Diperkenalkannya penghambat neuromuskular jangka menengah seperti atracurium dan vecuronium memberikan keuntungan dalam pengelolaan pasien dengan gangguan ginjal.

D.R. BEVEN dkk dalam penelitiannya menggunakan vecuronium pada 24 pasien dengan gagal ginjal tahap akhir dengan menggunakan 21 pasien normal sebagai kontrol, menemukan bahwa dosis yang diperlukan untuk menimbulkan blok sebesar 50%, 90%, dan 95% tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok. Dosis ulangan dengan dosis sebesar 0,01 mg/kg BB menghasilkan kerja yang lebih lama pada kelompok gagal ginnjal dibandingkan kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan bermakna dalam waktu pemulihan, dengan neostigmine antara kelompok gagal ginjal dan kelompok kontrol.

D. MONGIN LONG dkk dalam penelitiannya menggunakan atracurium pada 30 pasien gagal ginjal menyimpulkan bahwa tidak ada perpanjangan lama kerja dan indeks pemulihan (recovery index) antara pada kelompok gagal ginjal, dan menganjurkan atracurium sebagai obat pilihan terutama untuk transplantasi ginjal.

 JM. HUNTER dkk, dalam penelitian perbandingan dengan menggunakan vecuronium, atracurium, dan tubokurarine pada pasien anephric, tidak menemukan perbedaan bermakana antara kelompok atracurium dan vecuronium dengan masa kerja dan indeks pemulihan tetapi menemukan perpanjangan lama kerja pada kelompok d-tubokurarine. Tidak ditemukan perbedaan farmakodinamik dan farma-kokinetik pada penggunaan atracurium untuk gagal ginjal. Ini disebabkan cara eliminasi yang unik yang dipunyai oleh atracurium. Metabolit dari atracurium yaitu laudanosine dan alkohol mono kartener jumlahnya juga dapat diukur pada pasien gagal ginjal.

Konsentrasi puncak laudanosine adalah 0,27 mikrogram/ml dengan waktu paruh eliminasi 23,4 menit, untuk alkohol mono kwartener nilainya adalah 0,43 mg/ml dan 39 menit. Pada orang normal waktu paruh eliminasi Laudonosine adalah 197 menit. Pada percobaan binatang nilai ambang terjadinya kumulasi untuk Laudonosine adalah 17 mikrogram/mililiter sehingga nampaknya nilai ini tidak akan tercapai dengan dosis klinis atracurium, baik untuk penggunaan pada pasien normal maupun pada pasien dengan gagal ginjal, bahkan dengan infus kontinyu pun nilai yang dicapai hanya 0,758 mikrogram/mililiter.

BENCINI dkk mengemukakan bahwa parameter farmakokinetik untuk vecuronium adalah sama untuk pasien gagal ginjal maupun pasien normal, sedangkan LYNAM dkk menemukan bahwa klirens menurun pada pasien gagal ginjal sehingga menyebabkan perpanjangan efek blokade neuromuskular. Tidak ditemukan adanya perbedaan distribusi, maupun sensitivitas vecuronium pada pasien gagal ginjal, tetapi diperlukan monitoring blokade neuromuskular yang ketat.

B. Penyakit Hepar

Sebagian besar obat penghambat neuromuskular jangka panjang diesksresikan dalam bentuk utuh melalui air seni, sedangkan rute alternatifnya adalah melalui ekskresi bilier. Pancuronium juga mengalami metabolisme di hati diman 15-40% mengalami deasetilasi dan ekskresi bilier.

Hal ini membawa pengaruh terhadap disposisi pancuronium dimana distribusi dan eliminasinya meningkat pada pasien dengan Cirrhosis. Perubahan-perubahan ini diikuti dengan peningkatan distribusi volume dan penurunan klirens plasma.

Distribusi volume yang tinggi berarti ada peningkatan distribusi pancuronium dalam cairan tubuh sehingga diperlukan dosis awal yang lebih besar untuk mencapai derajat blokade neuromuskular yang sama. Tetapi segera setelah derajat neuromuskular tercapai akan berlangsung lebih lama karena eliminasinya terhambat.

Atracurium karena metabolismenya melalui eliminasi Hoffman dan hidrolisis, tampaknya tidak dipengaruhi oleh penyakit hepar. Pasien dengan gagal hepar akut menunjukkan farmakokinetik yang tidak berubah dibandingkan pasien normal, dan belum pernah dilaporkan adanya peningkatan kepekaan.

Pada pasien dengan Cirrhosis meskipun waktu eliminasi dan klirens atracurium tidak dipengaruhi, distribusi volumenya meningkat, dan waktu eliminasi metabolitnya yaitu laudonosine juga meningkat dimana pada pasien Cirrhosis adalah 227 menit sedankan pada kontrol 168 menit. Sehingga dianjutkan pemberian atracurium secara intravena pada pasien cirrhosis harus berhati-hati, karena waktu eliminasinya lebih lama dari atracuriumnya sendiri, dan akan meningkat jika dibandingkan dosis multipel.

Pada vesuronium 30-50% dari obat yang disuntikkan dieliminasi melalui empedu sehingga dapat diduga bahwa kerja vecuronium akan lebih lama pada pasien dengan penyakit hepar. Ini dibuktikan juga dengan penurunan klirens plasma pada pasien cirrhosis dan waktu paruh eliminasinya yang memanjang.

Hepar juga mensintesis plasma kolinesterase sehingga kadarnya menurun pada penyakit hepar yang lanjut, sedangkan enzim ini diperlu-kan untuk hidrolisis suksinilkolin, jadi efeknya dapat memanjang pada penyakit hepar yang lanjut.

C. Penyakit Neuromuskular

Respons pasien dengan penyakit neuromuskular terhadap obat penghambat nauromuskular tidak bisa diramalkan sehingga perlu dilakukan pemantauan secara ketat terhadap fungsi neuromuskular selama opersi. Pasien yang menderita MYASTHENIA GRAVIS sangat sensitif terhadap obat penghambat neuromuskular golongan non depolarizing tetapi resisten terhadap golongan depolarizing dan penderita penyakit ini dapat dengan mudah jatuh ke dalam blok fase II.

Atracurium dan vecuronium dalam dosis kecil sudah pernah digunakan secara aman pada penderita Myasthenia, dan dapat digunakan secara sangat hati-hati jika anestesi inhalasi dalam perlu dihindari.

Pasien dengan MYASTHENIC EATON-LAMBERT SYND-ROME (Oat Cell Carcinoma dari bronchus dan motor neuropaty) sangat sensitif baik terhadap obat golongan depolarizing maupun non depolarizing. Pasien A Myotrochic Lateral Sclerosis (ALS), Syringomyeli dan penyakit Lower Motor Neuron lain mengalami gangguan dalam transmisi neuromuskular dan konduksi saraf sehingga dapat menimbulkan respons yang berlebihan terahdap obat golongan non depolarizing.

Pada penyakit Familial Periodic Paralysis, respons terhadap muscle relaxant tidak dapat diramalkan dan penggunaanya sebaiknya dihindari.

6. UMUR

Telah dilaporkan sejak beberapa tahun bahwa neonatus lebih sensitif terhadap golongan non depolrizing, dan responsnya kadang-kadang mirip dengan pasien myasthenia dewasa. Penelitian secara elektromyografik menunjukkan bahwa respons bayi kecil terhadap obat ini setelah umur 12 minggu menyerupai orang dewasa, sedangkan pada yang kurang 12 minggu kurang matang, ini menunjukkan bahwa Myoneural Junction terus berkembang setelah lahir. Perubahan pada komposisi tubuh, fungsi ginjal dan hpar yang belum berkembang, mempengaruhi deposisi dari obat penghambat neuromuskular.

Cairan ekstraseluler makin berkurang sesuai dengan bertambahnya umur sehingga volume distribusi juga berubah. Peningkatan sensitivitas bayi terhadap obat penghambat neuromuskular dan adanya variasi antar individu yang sangat besar telah mempopulerkan penggunaan prinsip titrasi, untuk mencegah dosis yang berlebohan. Dosis obat harus dikurangi pada bayi prematur, keadaan acidosis dan hipothermia.

C. PEMANTAUAN BLOKADE NEUROMUSKULER

Meskipun ada perkembangan untuk menilai fungsi neuromuskuler selama operasi, penggunaan stimulator saraf masih merupakan suatu kehususan dan tidak rutin dilakukan.

JORGEN VIBY MOGENSEN mengemukakan beberapa keuntungan dalam penggunaan stimulator saraf secara rutin :

1. Penggunaan stimulator saraf memungkinkan dosis obat penghambat neuromuskuler yang tepat individu per individu. Misalnya selama induksi, mulai kerja obat bervariasi antara pasien per pasien, dengan stimulator saraf maka dapat ditentukan waktu kerja yang tepat untuk masing-masing pasien.

Sensitivitas pasien terhadap obat penghambat neuromuscular juga berbeda-beda, sehingga keperluan relaksasi untuk macam-macam operasi juga berbeda. Dengan penggunaan stimulasi saraf maka dapat disesuaikan derajat blokade sesuai kebutuhan pasien untuk berbagai macam operasi.

2. Waktu pemulihan, stimulasi saraf dapat menentukan waktu yang tepat untuk pemberian reversal dan ekstubasi.

3. Stimulator saraf dapat membantu diagnnosa pasien dengan kelainan transmisi neuromuskular

4. Selama induksi, sensitivitas yang berlebihan terhadap obat penghambat neuromuskular baik golongan depolarisasi maupun non depolarisasi dapat dinilai.

5. Selama operasi, stimulator saraf sangat penting untuk menilai blok fase II karena succynilcholine, interaksi obat yang mempengaruhi obat pelumpuh neuromuskular, dan penyakit yang mempengruhi transmisi neuro-muskular.

6. Pasca operasi, stimulator saraf dapat digunakan untuk menilai apakah obat penghambat neuromuskular tersebut sudah cukup direverse, dan jika belum maka terapinya dapat diberikan dengan mengggunakan tuntutan stimulator saraf.

Jenis dari blokade neuromuskular dapat di identifikasi dari respons otot bergaris yang distimulasi dengan cara :
  • Stimulasi tunggal (Singgle twitch)
  • Stimulasi kontinyu
  • Stimulasi tetanus
  • Stimulasi Train Off Four (TOP)
  • Double Burst Stimulation (DBS)

Secara klinis dapat dibedakan 3 macam blokade neuromuskular berdasarkan pola dari respons otot terhadap stimulasi saraf tepi yaitu :

1. Blokade Non Depolarizing (Kompetitif, Agonist)

Dengan tanda-tanda :
  • Tidak ada fasikulasi
  • Adanya “fase” setelah stimulasi lambat dan tetanik
  • Fase dengan rangsangan TOF 2 HZ
  • Potensiasi post tetanik
  • Antagonisme dengan obat depolarizer
  • Potensiasi dengan obat non depolarizer

Depresi dari twitch disebabkan blokade kompetitif dari reseptor kolinergik post sinaptik, sedangkan “fase” disebabkan oleh efek pre sinaptik.

Blokade jenis ini disebut juga blokade kompetitif atau antagonist karena obat golongan non depolarizer terikat dan menempati reseptor kolinergik tetapi tidak merangsang reseptor, sehingga terjadinya depolarisasi oleh acetilcholin dihambat.

2. Blokade depolarisasi (Agonist) atau blok fase I

Blokade jenis ini terjadi pada penggunaan succynilcholine dengan tanda-tanda :

  • Adanya fasikulasi
  • Tidak ada fase pada stimulasi lambat dan cepat
  • TOF lebih besar dari 0,7
  • Tidak ada potensiasi post tetanik
  • Potensiasi dengan antikolinesterase
  • Antagonis dengan golongan non depolarizer
  • Potensiasi dengan golongan depolarizer
Secara umum kerja golongan depolarizer menyamai asetilkolin dan berkerja secara agonis dengan reseptor asetilkolin. Obat ini terikat dan merangsang reseptor kolinergik pada membran post sinaptik. Ini menyebabkan turunnya potensial trans membran dan menyebabkan depolarisasi membran post sinaptik. Turunnya potensial membran menghambat rangsangan potensial aksi oleh asetilkolin sehingga otot tidak lagi responsif terhadap rangsangan.

Depolarisasi yang disebabkan oleh Succynilcholine menyebabkan membran tetap dalam keadaan depolarisasi dan mencegah repolarisasi. Konsentrasi obat depolarizer yang diperlukan untuk mengurangi ketinggian twitch sampai 80-90% maskin besar jika dilakukan pemberian ulangan (terjadi tachyphylaxis)

3. Blokade fase II (Dua blok, Blok Desensitisasi)

Pemberian obat golongan depolarizer dalam dosis besar atau pemberian berulang dapat mneyabkan sensitivitas reseptor kolinergik pada motor end plate berubah, sedemikian sehingga blokade neuromuskular tipe I (depolarisasi) berubah menyerupai blokade post junctional.

Pemberian berulang menyebabkan derajat blokade neuromus-kularnya berkurang (tachyphylaxis) yang ditandai dengan :
  • Poorlysustainded tetanus
  • Fasilitas post tetanik
  • TOF < 0,7
Pengurangan TOF untuk mendiagnosa perubahan dari fase I ke fase II adalah sangat berguna. Pada penggunaan succynilcholine dengan dosis 1-1,5 mg/kg BB untuk intubasi hampir tidak pernah terjadi blokade fase II, sedangkan dengan penggunaan infus kontinyu dengan dosis 2 –15 mg/kg BB/jam sering terjadi, dan pemulihan dari fase II ini sulit diramalkan. Penggunaan infus kontinyu ini sekarang sudah jarang sekali dilakukan dengan adanya atracurium dan vecuronium.

Blok fase II sering ditemukan pada Neonatus, Myasthenia Gravis, dengan Atypical Cholinesterase.

D. OBAT PELUMPUH OTOT

1. TUBOCURARINE

Cara Kerja

Bekerja secara bersaing menduduki tempat kolinesterase pada membran sel otot dengan jalan menghambat kerja asetilkolin dengan menambah jumlah asetilkoline, daya kerja obat tersebut dapat dihambat misal pada pemberian golongan antikolinesterase.

Eter dan halotan mempunyai efek yang sinergik karena obat tersebut mempunyai sifat menstabilkan membran pasca sambungan.

Faktor yang mempengaruhi relaksasi pada pemberian karena :
a) Umur
b) Otot
c) Obat dan kedalaman anestesi
d) Suhu

Pengaruh tubocurarin terhadap ortot lurik tergantung pada dosis pemberiannya. Relaksasi dimulai dari pelupuk mata, kemudian diikuti berturut-turut ekstremitas, otot madibula, otot intercostal, otot abdomen dan yang terakhir diafragma. Hilangnya relaksasi dimulai dari urutan otot polos tidak berpengaruh. Gangguan keseimbangan cairan akan memper-panjang efek dari paralisisnya.

Tubokurarin dapat menyebabkan pelepasan histamin yang dapat berakibat : spasme dari bronchus, hipotensi, hipersekresi asam lambung. Dosis tubokurarin, bila pemakaiannya bersamaan dengan obat anestesi misalnya eter maka dosis akan dikurangi menjadi 1/3 nya yaitu 3-5 mg/kg BB. Obat tersebut akan mulai bekerja 3 menit kemudian dan akan berkurang atau hilang efeknya setelah 30-40 menit. Setelah penyuntikan tubokurarin akan terjadi kumulasi pada hubungan otot dan saraf dan kemudian diekskresi melalui ginjal sepertiga bagian dari jumlahnya. Pada kelainan dari ginjal, ekskresi masih dapat dilakukan melalui hepar ke kandung empedu. Meskipun paralisis sudah hilang dalam waktu 40 menit tetapi beberapa gejala masih dapat tempat dalam waktu 4 jam.

Kontra indikasi : Myasthenia gravis, Myastenic syndrome, penyakit ginjal (kerusakan ginjal), asma bronkhiale.

2. PANCURONIUM

Termasuk golongan mendepolarisasi yang mempunyai efek 3 kali tubokurarine, bekerjanya setelah 3 menit dan lama efeknya 30-40 menit. Dosis yang dipakai 0,04 – 0,1 mg per kilogram berat badan, berikan secara intravena. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler, akan menaikkan nadi, tekanan darah dan curah jantung (cardiac output). Tidak menyebabkan pelepasan histamin sehingga spasme dari bronchus dapat dihindari. Pemberian obat anestesi inhalasi, magnesium, hipokalemi, dan beberapa antibiotika (neomycin, streptomycin, kanamycin, bacitracin), akan terjadi pemanjangan efek relaksasi. Ekskresi sebagian besar melalui ginjal dan sebagian melalui hepar.

3. ATRAKURIUM BESILAT (TRACRIUM)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leotice Leotopeltalum. Beberapa keunggulan atrakurium deibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :

a) Metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati atau ginjal.

b) Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang

c) Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovakuler yang bermakna

Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
  • Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kg BB/IV
  • Dosis relaksasi otot : 0,5 –0,6 mg/kg BB/IV
  • Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kg BB/IV
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai . Pada umumnya mula kerja atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedangkan lama kerja atrakurium dengan dosis relaksasi 15 – 35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja terakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atrakurium dapat menjadi obat pelumpuh otot non depolarisasi terpilih untuk pasien geriatrik atau dengan kelaianan jantung, hati dan ginjal yang berat.

Pada pH dan suhu tubuh yang normal atrakurium mengalami degradasi spontan melalui eliminasi Hofffman dan hidrolisis ester. Fischer dkk menyatakan bahwa hanya 40-50% atrakurium plasma dieliminasikan melalui mekanisme di atas. Sisanya 50% terjadi melalui mekanisme yang belum jelas tetapi diduga melalui metabolisme atau ekskresi oleh hati dan atau oleh ginjal. Namun demikian studi klinik menunjukkan jumlah atrakurium tidak besar, jika seluruhnya tergantung oleh eliminasi di ginjal. Farmakokinetik dan masa kerja dari atrakurium tidak diperpanjang atau diubah oleh karena adanya gangguan fungsi ginjal.

Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa dengan dosis yang rendah, masa kerja dari atrakurium sama atau lebih pendek pada pasien dengan penyakit hati. Namun demikian laudanosine mengalami akumulasi pada pasien dengan sirosis hepatis, dimana laudanosin dieliminasi terutama oleh hati. Laudosnosin suatu metabolit dari atrakurium, merupakan bentuk siap pakai dari hasil metabolisme atrakurium. Yang menjadi masalah utama apakah laudanosin yang diketahui bersifat konvulsan, secara klinik juga menyebabkan konvulsi. Penelitian selanjutnya menunjukkan kemungkinan konvulsi intra operatif tidak pernah terjadi. Namun demikian perubahan darah pada pemakaian laudanosine biasa terjadi, hal ini dapat dilihat pada 30% kelinci percobaan dengan adanya peningkatan kebutuhan obat anestetik dan pada anjing memberikan kelainan gambaran EEG.

Pada anjing dengan kesadaran baik, laudanosin 6,0 per ml menyebabkan hipotensi dan bradikardi dan kadar lebih dari 10 mg/ml menimbulkan spike pada EEG. Pada kelinci ambang kejang menjadi lebih rendah. Penderita yang dirawat di ICU dengan pemberian atrakurium untuk beberapa hari, pernah ditemukan kadar laudanosin sekitar 1,9 – 5,1 mg/ml.

Pasien-pasien ini mengalami sedasi dan paralise parsial dan tanpa monitor EGG ternyata tidak mengalami serangan kejang. Kunci dari pertanyaan ini adalah “Bagaimanakah ambang kejang pada manusia ?” Eddleston dkk melaporkan bahwa dua hari sembilan penderita bedah saraf yang mendapat atrakurium mengalami serangan kejang. Mereka menyatakan bahwa serangan kejang tidak disebabkan laudanosin, tetapi tidak jelas bagaimana mereka sampai pada kesimpulan tersebut. Sebab variasi ambang kejang pada binatang sangat besar sehingga hasil tersebut tidak dapat diaplikasikan pada manusia.

Sangat rasionil bila para klinikus berhati-hati pada pemberian atrakurium di ICU dalam jangka waktu yang lama, sampai ambang serangan kejang dapat ditentukan. Lebih jelasnya farmakokinetik dan jalur metabolisme atrakurium perlu diteliti lebih lanjut.

4. VEKURONIUM

uga merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang baru dan merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dengan lama kerja yang singkat. Tidak memiliki efek kumulasi pada pemberian berulang atau kontinyu per infus. Tidak menyebakan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Kemasan dibuat dalam bentuk ampul berisi bubuk vekuronium 4 mg. Pelarut yang dapat dipakai antara lain : akuades, garam fisiologik, ringer laktat, atau dekstrosa 5% sebanyak 2 ml.

Dosis : 0,1 mg/kg BB/IV. Mula kerja terjadi pada menit ke 2 – 3 dengan lama kira-kira 30 menit. Sekitar 50 – 6-% dosis injeksi vekuronium dieliminasikan melalui empedu, sekitar 50% lagi dimetabolisme menjadi 3 hidroksi. Pada penderita dengan gagal ginjal, masa kerja dari vekuronium sedikit memanjang. Penderita dengan penyakit hati masa aksi dan farmakokinetik dari vekuronium tidak mengalami perubahan kecuali pada pemberian dosis lebih dari 0,2 mg/kg.

Informasi terbaru memperlihatkan metabolit 3 hidroksi mempunyai farmakokinetik yang sangat berbeda dan hal ini belum dapat diidentifikasi. Sebaliknya vekuronium mempunyai masa aksi yang tidak memanjang pada pasien dengan gagal ginjal tapi mungkin memanjang pada pasien sirosis hepatis.

5. SUKSINILKOLINE

Relaksasi terjadi karena blokade dari umpuls saraf pada muscular junction. Suksinilkolin memberikan efek relaksasi yang pendek (5 – 15 menit) dan bekerjanya dalam waktu 1 menit. Dosis yang diberikan 1-2 mg per kilogram berat badan. Bila dibutuhkan untuk relaksasi yang lama dapat diberikan secara drips melalui infus. Bila terjadi relaksasi yang lama terapi yang dilakukan adalah pemberian napas buatan sampai penderita bernapas kembali. Mampunyai potensi untuk pelepasan histamin.

Pemberian suksinilkolin dapat berakibat kenaikan tekanan intra vaskuler, intra gaster, kadar kalium, dan suhu. Setelah pemberian suksinilkolin dapat berakibat rasa sakit pada otot.

Pemakaian suksinilkolin pada waktu intubasi akan menambah kemungkinan terjadinya aritmia dari jantung, bradikardia, dan hiper-sekresi. Pemberian berulang dapat terjadi aritmia dari jantung. Suksinilkolin dihidrolisis di dalam tubuh oleh pseudokolinesterase yang banyak terdapat dalam hepar dan plasma. Pada penderita dengan kadar kolinesterase yang rendah, pemberian suksinilkolin akan mengalami relaksasi yang lama.

E. ANTAGONIS PELUMPUH OTOT NON DEPOLARISASI

Neostigmin metilsulfat

Farmakologik

Merupakan antikolinesterase yang dapat mencegah hidrolisis dan menimbulkan akumulasi asetilkolin. Obat ini mengalami metabolisme terutama oleh kolinesterase serum dan bentuk utuh sebagian besar diekskresi melalui ginjal. Mempunyai efek nikotinik, muskarinik, dan merupakan stimulan otot langsung. Efek muskarinik antara lain menyebabkan bradikardia, hiperperistaltik dan spasme saluran cerna, pembentukan sekret jalan nafas dan kelanjar liur, bronkhospasme, berkeringatan, miosis dan kontraksi vesica urinaria. Sebagian efek ini dapat dihambat oleh atropin sulfat.

Dosis : 0,5 mg bertahap hingga 5 mg. Biasanya diberi bersama-sama dengan atropin dosis 1 – 1,5 mg.