Tuesday, June 3, 2014

Anestesi Pada Pembedahan Darurat

Halfian Tags

Masalah anestesi pada pembedahan darurat (CITO)


Pembedahan darurat banyak menimbulkan masalah bagi Dokter Spesialis Anestesiologi, yang biasanya tidak dijumpai pada pembedahan terencana atau elektif. Pada umumnya masalah yang dihadapi ialah :
  1. Waktu yang sangat terbatas untuk evaluasi dan persiapan praanestesi/pra-bedah.
  2. Pasien biasanya dalam keadaan gelisah.
  3. Isi lambung umumnya belum kosong, sehingga bahaya aspirasi sangat mengancam.
  4. Hemodinamik sering terganggu.
  5. Banyak pasien menderita cedera ganda
  6. Riwayat penyakit terdahulu sering tidak diketahui.
Keadaan-keadaan di atas dapat menyebabkan sulitnya memperbaiki keadaan penderita sampai dengan maksimal. Dengan demikian Dokter Spesialis Anestesiologi harus mampu mempersiapkan secara cermat dan sistematis agar dapat mengurangi kejadian komplikasi akibat anestesi selama dan pasca pembedahan, baik persiapan menyangkut pasien maupun alat anestesi serta alat penunjangnya.
mesin-anestesi-kamar-operasi

Dan perlu disadari betapapun kecilnya jenis pembedahan yang dilakukan dengan anestesi, kita harus ingat “There is no such thing as minor anesthesia”. Betapapun singkatnya prosedur anestesi, namun selalu menyangkut perubahan fungsi hayati tubuh yang sangat mendasar.

PERSIAPAN PRA-BEDAH


Pada prinsipnya ada 3 (tiga) tindakan pokok yang harus dikerjakan untuk pembedahan darurat :

1. Pemeriksaan Fisis dan Menegakkan Diagnosa :
Prosedur disini mengikuti dasar-dasar pemeriksaan fisik yang bersifat darurat dan tindakan pertolongan darurat pula melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan rontgenologis secara sitematis untuk menegakkan diagnose adalah sangat penting.

Penilaian fungsi-fungsi sistem yang ada secara cermat harus selalu dikerjakan meliputi :
  1. Sistem pernapasan
  2. Sistem kardiovaskuler
  3. Sistem susunan saraf pusat
  4. Sistem Urogenital
  5. Sistem gastrointestinal
  6. Sistem muskulo-skeletal

2. Penggalian riwayat penyakit terdahulu yang diderita :
Usaha untuk mengetahui penyakit yang pernah dan sedang diderita oleh pasien adalah sangat penting sekali, dan sering dilupakan. Tidak jarang komplikasi yang terjadi selama atau pasca anestesi / pembedahan merupakan akibat dari penyakit pesien yang diderita oleh karena adanya intervensi anestesi/pembedahan. Misalnya : macam obat-obatan yang selama ini diminum oleh pasien yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan obat anestesi, adanya penyakit jantung, saluran pernapasan, gangguan metabolik, dll, yang kesemuanya itu bila tidak diantisipasi sebelumnya dapat berakibat fatal.

3. Persiapan pasien :
1. Psikologis :
Mengurangi rasa takut dan gelisah sangat banyak membantu dan sering diabaikan. Usahakan memberikan penjelasan kepada keluarga atau pasien jika memungkinkan, mengenai prosedur yang akan dilakukan biasanya dapat menolong pasien lebih tenang.

2. Stabilitas Hemodinamik :
Pada prinsipnya mengusahakan pasien dalam kondisi normovolemia sebelum dilakukan anestesi/pembedahan baik dengan jalan rehidrasi, hemodilusi, replacement cairan dan atau dengan transfusi.

a) Pada perdarahan :
Banyak penderita dengan perdarahan tidak dapat menjalani pembedahan karena kelambatan stabilitas hemodinamik. Menunggu datangnya darah sudah lama ditinggalkan dan biasanya membutuhkan waktu yang lama. Penderita yang datang dengan perdarahan segera dipasang infus dan diberikan kristaloid (ringer laktat, NaCl fisiologis) sebanyak 2-4 kali perkiraan volume darah yang hilang, atau diberikan cairan koloid (Hemacel, Expafusin, Dextran) sejumlah volume perdarahan.

Penderita yang datang dalam keadaan shock berat (tekanan darah tidak terukur) kira-kira telah kehilangan lebih dari 1/3 volume darah efektif (70 ml/kgBB). Batasan ini kita jadikan pedoman untuk menentukan jumlah kecepatan pemberian cairan pengganti.

      Darah baru diberikan bila :
  1. Dengan cairan sejumlah tersebut tekanan darah, nadi dan perfusi tetap buruk. Dikatakan perfusi baik jika perabaan pada akral : hangat (warm), kering (dry) dan merah (pink).
  2. Hb kurang dari 7 gr %, sebab dengan Hb kurang dari 7 gr % kesempatan darah membawa oksigen sudah sangat berkurang disamping juga kemungkinan penurunan tekanan osmotik plasma cukup banyak hingga memudahkan edema paru.
  3. Sumber perdarahan telah dikuasai. Hemodinamik yang stabil ditandai dengan perfusi perifer yang baik (akral hangat, kering dan kemerahan), nadi kurang dari 100 x / menit, tekanan darah kembali normal, produksi urine ½ - 1 cc / Kg BB / jam dan jika dilakukan “TILT TEST” negatif yaitu dengan mengukur tekanan darah pada posisi “Anti Tredelenberg” sampai dengan 30o penurunan Mean Arterial Pressure (MAP = diastik + 1/3 (Sistolik-Diastolik) kurang dari 10 mmHg.

b) Pada kehilangan cairan :
Penyebab kehilangan cairan disini adalah :
  1. Intake yang kurang (puasa, muntah, sakit lama).
  2. Out-put yang berlebihan (febris, transfusi cairan ke lumen usus dan peritonitis).
Tentukan derajat dehidrasi dan segera dipasang infus dengan kanula berdiameter besar. Pada dehidrasi sedang atau berat berikan bolus Ringer laktat atau NaCL sebanyak 20-40 ml / Kg BB dalam waktu 1 (satu) jam. Bila setelah pemberian tersebut belum terjadi perbaikan fungsi vital dapat diulangi dengan bolus 20 ml / Kg BB dalam 1 jam.

Dan bila terdapat keragu-raguan dalam pemberian cairan atau belum juga terdapat perbaikan fungsi vital, akan lebih baik pemberian cairan dilakukan dengan pedoman CVP (Central Venous Pressure) sehingga dapat lebih akurat dan aman.

Rehidrasi harus berhasil mengembalikan semua defisit dalam waktu sependek mungkin agar pembedahan dapat segera dilakukan. Perbaikan perfusi perifer, nadi tekanan darah dan produksi urine menunjukkan arah terapi yang benar. Kalori dapat diberikan bersama Natrium sebagai larutan NaCL-Dextrose atau Ringer Dextrose. Tetapi bukan glukosa karena bila glukosa dibakar oleh tubuh akan menghasilkan kalori dan air murni tanpa natrium yang akan mengacaukan keseimbangan cairan tubuh (Water Exces).

3. Optimalisasi penyakit yang diderita :
Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai harus dilakukan. Kadang-kadang pada pasien-pasien darurat menderita juga penyakit lain yang belum terkontrol seperti : Asthma Bronchiale, Hipertensi, Diabetes melitus, Penyakit Jantung, Penyakit Ginjal pada saat pra-bedah.

Penyakit-penyakit yang sedang diderita pada saat pra-anestesi / bedah ini diusahakan untuk dikontrol dulu sebelum dilakukan anestesi / pembedahan dengan tujuan mengurangi resiko anestesi / pembedahan dan tentunya harus disesuaikan dengan waktu yang tersedia.

4. Stabilitas tulang belakang :
Bila diduga ada faktor tulang belakang, maka harus berhati-hati dan usahakan jangan sampai menambah jelek keadaan, terutama pada saat transport dan intubasi.

3. Pencegahan regurgitasi dan aspirasi
Faktor-faktor seperti : nyeri, syok, ketakutan, cemas kehamilan dan gangguan pasase usus, akan menghadapi bahaya regurgitasi dan aspirasi terutama pada saat refleks protekif hilang. Mortalitas “Mendelson Syndrome” karena aspirasi asam lambung lebih dari 50 % dan ditambah juga umumnya keadaan pasien tersebut sudah cukup buruk.

Kita harus menganggap lambung semua penderita pada keadaan darurat dalam keadaan penuh apapun hasil anamnesa yang kita peroleh. Usaha-usaha untuk mengosongkan lambung dengan cara :
  1. Puasa untuk periode waktu 4-6 jam setelah minum atau makan terakhir jika peristaltik usus normal.
  2. Pemasangan Naso Gastric Tube berukuran besar (FR 20 atau 18) kemudian isi lambung dihisap sampai bersih secara berkala, selanjutnya tube tetap dipasang sampai menjelang induksi anestesi.
Aspirasi padat menyebabkan obstruksi dan asfiksia, tetapi yang lebih sering terjadi adalah aspirasi cairan yakni cairan asam lambung. Prognose buruk dari aspirasi ditentukan oleh jumlah aspirat (lebih 25 ml) dan pH aspirat (kurang dari 25).

Pada kasus-kasus obstetri perubahan-perubahan akibat kehamilan dan persalinan menambah besar kemungkinan regurgitasi atau aspirasi dengan cairan lambung yang lebih banyak dan lebih asam. Sehingga untuk kasus-kasus obstetri perlu diberikan Magnesium Trisiklat (Antasida) 15 ml sesudah pengosongan lambung dan efek netralisasi tercapai setelah ½ - 2 jam kemudian.

4. Pemeriksaan Laboratorium
Tambahan data berupa Thorax Foto, Elektro Kardigrafi (EKG) dan Kimia Darah merupakan bantuan yang sangat besar. Dari pemeriksaan Blood Ureum Nitrogen (BUN), Serum Creatinin dan Elektrolit dapat diperoleh gambaran faal ginjal. SGOT, SGPT dan Bilirubin untuk faal hati. Sedangkan pemeriksaan gas darah dan asam basa darah dapat dilakukan koreksi gangguan pernapasan dan metabolisme tubuh.

5. Pemantauan
Observasi ketat harus dilakukan secara rutin yaitu terhadap tekanan darah, nadi perfusi perifer, produksi urine, pupil dan pernapasan. Pemasangan stetoskop Pre-Kordial harus selalu dilakukan dan jika memungkinkan EKG.

Alat penunjang lainnya yaitu Pulse Oksimetri sangat berguna untuk menghitung frekuensi dan kualitas denyut nadi perifer serta saturasi oksigen. Kateter saluran kemih selalu harus selalu terutama pada operasi-operasi besar untuk mengetahui diuresis, sebagai gambaran keadaan pasien.

PROSEDUR ANESTESI


A. Premedikasi :
1. Premedikasi Psikologis :
Usaha menjelaskan prosedur anestesi dan pembedahan dapat membuat pasien lebih tenang dan kooperatif, sehingga dapat mengurangi dosis obat sedative dan anestesi. Terangkan pula cara bernapas dan batuk yang efektif untuk mencegah hipoventilasi, atelektasis dan pneumonia pasca pembedahan terutama pada pembedahan abdomen.

2. Premedikasi Farmakologis :
Pembedahan obat sedatif atau narkotik tergantung kebutuhan dan keadaan umum pasien. Pada umunya diberikan kalau benar-benar diperlukan dan setelah dapat dibuktikan bahwa kegelisahan tidak disebabkan hipoksia otak. Mempertahankan kesadaran tetap penuh sangat dianjurkan pada pasien bedah darurat sebelum dianestesi, kecuali bila kegelisahannya begitu berlebihan dapat diberikan Diazepam 5 – 10 mg intramuskuler.

B. Teknik Anestesi :
Pilihan teknik anestesi sangat tergantung kepada jenis dan lama tindakan bedah, keadaan umum dan tingkat koopertaif pasien. Alat dan obat untuk pertolongan gawat darurat harus selalu siap dan tersedia.

1. Regional Anestesi :
Bilamana pasien kooperatif dipilih anestesi regional yaitu :
  1. IVR (Infra Venous Regional) anestesia atau blok syaraf untuk operasi lengan dan tangan.
  2. Spinal Anesthsia (Subarachnoid Block, Epidural Block dan Caudal Block) untuk operasi abdominal bawah, extremitas bawah, daerah inguinal dan perineum.
Cara ini dapat mencegah bahaya aspirasi yang dapat terjadi pada pasien yang dibuat tidak sadar, disamping memudahkan untuk pemantauan selama operasi.

2. Anestesi Umum :
Untuk operasi yang besar hampir selalu membutuhkan teknik anestesi umum dengan intubasi trachea dan napas kendali dengan bantuan obat pelumpuh otot. Cara ini menghindari pemakaian obat anestesi yang banyak dan memastikan oksigenasi yang baik.

Intubasi sadar sulit dilakukan pada anak dan juga merupakan kontraindikasi relatif pada mata terbuka, trauma kepala atau perut terbuka karena dapat menyebabkan refleks batuk dan mengedan. Tetapi kalau tindakan intubasi dalam keadaan tidak sadar ada kemungkinan sulit maka intubasi tetap dianjurkan.

a) Induksi Anestesi :
Sebelum mulai induksi, sekali lagi pastikan :
  1. Apakah Antasida (pada kasus yang memerlukan) sudah diberikan?
  2. Apakah Maagslang sudah dihisap ?
Cabutlah sekarang Maagslang tersebut sambil dihisap. Sebab Maagslang dapat menyebabkan inkompotensi Oesophago Cardia Junction sehingga memudahkan regurgitasi selama induksi dan anestesi. Maagslang dipasang kembali sesudah penderita sadar (kalau memang masih diperlukan), kecuali bila intra-operative sangat diperlukan.

Suction yang kuat harus tersedia untuk segera menghisap muntahan seandainya terjadi.
Selanjutnya dimulai Oksigenasi dengan sungkup muka (masker) selama paling sedikit 5 menit dengan aliran oksigen 8-10 liter/menit. Kemudian diberikan obat induksi Pentothal 3-5 mg/Kb BB intravena atau Ketamine 1-2 mg/Kg BB intervena.

Bila selang waktu puasa cukup dan bahaya aspirasi dapat disingkirkan, maka dilanjutkan dengan masker saja tanpa intubasi dan berikan obat anestasi inhalasi untuk pemeliharaan dengan posisi Head Down (Trendelenberg). Akan tetapi bilamana jenis operasi besar memerlukan waktu lama, waktu puasa belum cukup atau tidak mungkin dilakukan dengan masker, maka harus dilakukan intubasi trachea dengan jalan “Induksi Cepat” yaitu : setelah oksigenasi posisikan kepala lebih tinggi 20-30 derajat (anti-Trendelenberg) kemudian suntikkan obat induksi dan jika sudah mulai tidak sadar tekan tulang cricoid tanpa melakukan ventilasi positif dengan sungkup muka, kemudian suntikkan obat pelumpuh otot (Suksinilkolin 1-2 mg/KgBB intravena).

Setelah fasikulasi hilang, langsung dilakukan intubasi trachea yang diikuti pengembangan balon pipa endotracheal. Selanjutnya dihubungkan dengan alat anestesi, kemudian diberikan ventilasi positif sampai dengan napas spontan timbul kembali. Bila dikehendaki ventilasi dapat diteruskan spontan dan ventilasi kendali dengan menggunakan obat pelumpuh otot (Pancuronium, Atracurium, Norcuron).

b) Mempertahankan Anestesi :
Mempertahankan kedalaman anestesi pada bedah darurat sering merupakan teknik untuk mencapai dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Dan perlu diketahui bahwa semua obat anestesi dapat mendepresi jantung dan sirkulasi lebih-lebih pada keadaan hemodinamik yang belum stabil.

Pemberian obat anestesi harus diberikan secara bertahap mulai dengan konsentrasi/dosis rendah dengan melihat reaksi/ respon kesadaran, rasa sakit, pupil, hemodinamik dan pernapasan pasien.
Menjelang akhir pembedahan hentikan pemberian obat anestesi dan usahakan penderita sudah sadar (dapat mengikuti perintah).

MASA PEMULIHAN PASCA BEDAH


Sebelum penderita sadar penuh lakukan observasi seketat yang telah dilakukan selama anestesi. Selama tekanan darah, nadi dan pernapasan dievaluasi setiap 5 – 10 menit. Berikan Oksigen dengan “Nasal Kanula” 3 liter/menit atau sungkup muka 5 liter/menit, tindakan ini akan memperbaiki oksigenasi penderita yang masih dalam keadaan hipoventilasi akibat sisa obat anestesi.

Ada 3 (tiga) persoalan besar dari segi nafas dalam masa ini yang harus dicegah, yaitu :

1. Cegah obstruksi jalan napas :
  • Observasi napas dan jalan napas.
  • Atur posisi kepala defleksi, kalau perlu ganjal bantal bahu.
  • Gunakan Oro-pharingeal tube, agar lidah tidak jatuh ke belakang.

2. Cegah Aspirasi :
  • Posisikan pasien miring dan kepala lebih rendah.
  • Siapkan suction yang siap pakai.
  • Bersihkan mulut jka banyak sekret/muntahan.

3. Cegah Hipoventilasi :
  • Observasi pernapasan.
  • Bila ventilasi (gerak napas) tampak tidak adekuat bantu dengan memakai Bag and Mask atau Ambu Bag dengan tambahan oksigen.

Kadang-kadang pasien bedah darurat tidak langsung diekstubasi sehubungan dengan keadaan umumnya yang belum memungkinkan (syok, napas yang tidak adekuat, refleks jalan napas atas belum pulih kembali, perlu diberikan bantuan napas mekanik dengan Ventilator), maka perlu dirawat di Unit Terapi Intensif agar dapat kembali stabil secara perlahan-lahan tanpa terburu-buru diekstubasi.

Persoalan koreksi cairan yang belum terselesaikan diteruskan pada masa pemulihan. Dan penderitan yang diperkirakan belum mampu minum dan makan dalam jangka waktu 12 jam pasca bedah harus diberikan infus cairan dan kalori.