Sunday, April 10, 2022

OBSTRUKSI BILIARIS : PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM OBSTRUKSI BILIARIS

A. Serum Bilirubin

Terlepas dari penyebab kolestasis, kadar serum bilirubin (terutama direct) biasanya meningkat. Namun, kondisi hiperbilirubinemia tidak dapat membantu secara meyakinkan dalam membedakan diantara berbagai penyebab obstruksi.
  • Obstruksi ekstrahepatik:

    Biasanya terkait dengan peningkatan kadar bilirubin baik langsung maupun tidak langsung. Namun, pada fase awal obstruksi dan pada obstruksi sebagian atau terputus-putus, kadar bilirubin serum hanya dapat sedikit meningkat. Awalnya, peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi, terjadi tanpa mempengaruhi tingkat bilirubin tak terkonjugasi karena obstruksi CBD mencegah ekskresi bilirubin terkonjugasi ke dalam duodenum.

    Bilirubin terkonjugasi yang mencapai usus akan di-dekonjugasi oleh bakteri usus. Bilirubin tak terkonjugasi, berbeda dengan yang terkonjugasi, dapat dengan mudah melintasi penghalang epitel usus dan masuk ke dalam darah. Bilirubin tak terkonjugasi ini terakumulasi dalam darah oleh karena mekanisme penyerapan dan sel-sel hati telah terbebani oleh bilirubin  terkonjugasi yang tidak dapat diekskresikan. Oleh karena itu, kadar bilirubin tidak langsung dapat naik juga, bahkan pada orang dengan ikterus obstruktif.
  • Obstruksi intrahepatik:

    Baik fraksi bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, keduanya dapat meningkat dalam proporsi yang bervariasi. Fraksi tak terkonjugasi dapat meningkat karena ketidakmampuan sel yang rusak untuk meng-konjugasi bilirubin tak terkonjugasi dalam jumlah normal dalam serum. Sementara, peningkatan fraksi terkonjugasi biasanya hasil dari defisiensi metabolik dalam mekanisme ekskresi disebabkan oleh proses inflamasi dari penyakit.

B. Alkali fosfatase (ALP)

ALP merupakan enzim yang terikat membran, terlokalisasi pada kutub kanalikular biliaris dari hepatosit. Kadar ALP meningkat pada orang dengan obstruksi bilier. Namun, tingginya kadar enzim ini tidaklah spesifik untuk kolestasis. Untuk menentukan apakah enzim ini berasal dari gangguan pada hati, dilakukan juga pengukuran gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) atau 5-prime-nucleotidase.

Bila kadar enzym ini juga meningkat, bersamaan dengan peningkatan ALP, maka kemungkinan besar telah terjadi gangguan pada hati. GGT paling sering digunakan. Meski ALP menjadi salah satu enzim yang di evaluasi secara rutin pada obstruksi bilier, kadar elevasi ALP tidak dapat digunakan untuk membedakan antara penyebab ekstrahepatik dan intrahepatik dari obstruksi bilier tersebut.
  • Obstruksi ekstrahepatik:

    Kadar ALP meningkat pada hampir 100% dari pasien, kecuali dalam beberapa kasus obstruksi sebagian atau terputus-putus (intermitten). Nilai biasanya lebih besar 3 kali dari batas atas kisaran referensi, dan dalam kebanyakan kasus yang khas, kadar ALP meningkat hingga melebihi 5 kali batas atas nilai normalnya. Peningkatan kurang dari 3 kali batas atas nilai normal, adalah bukti terhadap obstruksi ekstrahepatik lengkap.
  • Obstruksi intrahepatik:

    Kadar ALP meningkat, dan sering kurang dari 3 kali batas atas dari kisaran referensi normal. Namun, 5-10% pasien dapat memiliki kenaikan kadar ALP yang lebih besar.

perbandingan-peningkatan-enzym-pada-jaundice

C. Serum transaminase

Kadar serum transaminase biasanya hanya meningkat sedang pada pasien dengan kolestasis tapi kadang-kadang dapat meningkat tajam, terutama jika disertai cholangitis.
  • Obstruksi ekstrahepatik:

    Biasanya, kadar serum aspartat aminotransferase (AST) tidak meningkat kecuali terjadi kerusakan parenkim hati akut sekunder. Bila terjadi peningkatan, biasanya hanya ringan sampai sedang.
  • Obstruksi intrahepatik:

    Alanine aminotransferase (ALT) adalah enzim yang terutama ditemukan di dalam hati, dan penyebab paling sering peningkatan kadar ALT ini, adalah karena penyakit intrahepatik. Meskipun kurang spesifik terhadap hati, kadar AST juga meningkat pada kasus kolestasis intrahepatik. Kadar ALT dan AST biasanya meningkat pada nilai yang sama pada pasien dengan hepatitis virus dan orang-orang dengan kerusakan hati yang diinduksi obat. Dalam kaitannya dengan penyakit hati alkoholik, sirosis, dan lesi metastasis ke hati, kadar AST lebih sering meningkat daripada ALT. Secara umum, kadar AST biasanya lebih tinggi daripada kadar ALT.

D. GGT (gamma-glutamyl transpeptidase)

Kadar enzym ini meningkat pada pasien dengan penyakit hati, saluran empedu, dan pada pankreas ketika saluran empedu terhambat. Peningkatan kadarnya paralel dengan kadar ALP dan 5-prime-nucleotidase dalam kondisi yang berhubungan dengan kolestasis. Sensitivitas ekstrim dari GGT, berlawanan dengan ALP, membatasi kegunaannya; Namun, kadar GGT dapat membantu membedakan penyakit hepatobilier sebagai pembantu diagnosis pada kenaikan ALP.

E. Waktu protrombin (PT)

Nilai dari PT bisa saja memanjang karena malabsorpsi vitamin K. Koreksi dari PT dengan pemberian parenteral vitamin K dapat membantu membedakan gangguan hepatocellular dari kolestasis. Pada pasien dengan penaykit parenkim hati, meski diberi vitamin K, hanya terdapat sedikit atau tidak ada perbaikan sama sekali.

F. Hepatitis serologi

Karena membedakan hepatitis virus dan penyebab ekstrahepatik sebagai penyebab obstruktif mungkin sulit, maka dapat dilakukan tes serologi untuk hepatitis virus akut pada semua pasien dengan kolestasis.

G. Antibodi antimitochondrial

Adanya antibodi antimitochondrial, biasanya dalam titer yang tinggi, merupakan indikasi dari PBC. Antibodi ini biasanya tidak ada pada pasien dengan obstruksi bilier mekanik ataupun PSC.

H. Urine bilirubin

Bilirubin dalam urin normalnya tidak ada. Kalaupun ada, hanya bilirubin terkonjugasi yang bisa ditemukan dalam urin. Hal ini dapat dibuktikan dengan urin berwarna gelap yang terlihat pada pasien dengan ikterus obstruktif atau ikterus akibat cedera hepatoseluler. Namun, reagen strip biasanya sangat sensitif terhadap bilirubin, mampu  mendeteksi sesedikit 0,05 mg / dL. Dengan demikian, bilirubin urine dapat ditemukan bahkan tanpa adanya hiperbilirubinemia atau penyakit kuning klinis.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI OBSTRUKSI BILIARIS

A. Radiografi polos

Memiliki kemampuan terbatas untuk membantu mendeteksi kelainan pada sistem bilier. Seringkali, batu tidak divisualisasikan karena sedikit yang sifatnya radiopak.

B. Ultrasonografi (USG)

USG merupakan teknik radiologi yang paling murah, paling aman, dan paling sensitif untuk memvisualisasikan sistem bilier, terutama kantong empedu. Akurasi saat ini mendekati 95%. USG merupakan prosedur pilihan untuk evaluasi awal kolestasis dan dapat membantu membedakan kausa ikterus ekstrahepatik dengan penyebab intrahepatik.

Obstruksi ekstrahepatik ditandai oleh adanya pembesaran saluran empedu, namun saluran empedu yang tampak normal, tidak menyingkirkan obstruksi yang mungkin baru terjadi atau intermiten.

Visualisasi dari pankreas, ginjal, dan pembuluh darah juga dimungkinkan dengan USG.

Namun, USG dianggap agak terbatas dalam kemampuannya membantu mendeteksi penyebab obstruksi secara keseluruhan dan derajat obstruksi. USG tidak berguna untuk memvisualisasikan  batu dalam CBD/duktus biliaris komunis (gas usus mungkin mengaburkan visualisasi dari CBD). Duktus kistikus juga tidak dicitrakan dengan baik. Selain itu, USG juga kurang berguna dalam mendiagnosis individu yang mengalami obesitas.

C. Computed tomography (CT) Scan

CT Scan tradisional biasanya dianggap lebih akurat daripada USG untuk membantu menentukan penyebab spesifik dan derajat obstruksi. Selain itu, CT Scan juga membantu memvisualisasikan struktur hati lebih baik dibanding USG. Penambahan kontras intravena membantu membedakan dan menentukan struktur pembuluh darah dan saluran empedu.

CT scan memiliki kemampuan yang terbatas dalam membantu mendiagnosa batu CBD karena sebagian besar bersifat radiolusen sementara CT scan hanya dapat menggambarkan dengan baik batu yang terkalsifikasi (radioopak). CT Scan juga kurang berguna dalam mendiagnosis cholangitis karena gambaran khas yang menunjukkan adanya infeksi saluran empedu (meningkatnya opasitas karena nanah, penebalan dinding saluran empedu, dan gas) jarang ditemukan.

Terakhir, kelemahan CT scan adalah biayanya yang mahal dan melibatkan paparan radiasi, keduanya menyebabkan penggunaan CT Scan tidak secara rutin dilakukan  dibandingkan dengan pemeriksaan USG.

D. CT scan Spiral (heliks)

CT Scan spiral meningkatkan pencitraan saluran empedu dengan memberikan beberapa gambar tumpang tindih dalam waktu yang lebih pendek daripada CT scan tradisional serta dengan meningkatkan resolusi melalui pengurangan artefak respirasi.

CT cholangiography dengan teknik CT Scan heliks, paling sering digunakan untuk memvisualisasikan sistem bilier dan memungkinkan visualisasi dari batu radiolusen dan patologi bilier lainnya.

Keterbatasan CT cholangiography heliks diantaranya adaah reaksi alergi terhadap kontras, meskipun kini lebih jarang terjadi. Selain itu, bila terjadi peningkatan kadar serum bilirubin, maka kemampuannya untuk memvisualisasikan traktus biliaris juga berkurang dan kemampuan untuk menggambarkan tumor secara utuh juga menurun. Pasien diminta untuk menahan nafas mereka saat pengambilan gambar.

E. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)

MRCP adalah adalah cara non-invasif untuk memvisualisasikan sistem hepatobiliary. Teknik MRCP memanfaatkan fakta bahwa cairan (misalnya, yang ditemukan di traktus bilier) memberi signal hiperintens pada T2-weighted image. Struktur sekitarnya tidak di perkuat dan dapat ditekan selama analisis citra. Namun, pada tahap awal, kemampuannya terbatas dalam mendeteksi saluran empedu yang tidak berdilatasi. Munculnya teknologi sekuens akuisisi cepat dengan penguatan relaksasi (RARE) dan sekuens Half-Fourier RARE (juga dikenal sebagai akuisisi half Fourier single-shot turbo spin-echo atau HASTE) dapat mengurangi waktu pencitraan hingga beberapa detik. Hal ini dapat membantu memfasilitasi pencitraan pada pasien dengan posisi yang berbeda-beda, untuk membedakan udara dengan batu.

Seperti heliks CT scan, MRCP memberikan ahli radiologi kemampuan untuk menganalisis gambar dari sumber proyeksi 2 dan 3 dimensi. Meskipun beberapa teknik memerlukan pasien untuk menahan nafas selama pengambilan gambar untuk mendapatkan gambar dengan kualitas tertinggi, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan scan menurun karena teknik pencitraan yang makin canggih, dan prosedur alternatif yang melakukan pengambilan gambar diantara napas pasien.

MRCP merupakan metode non-invasif yang sensitif untuk mendeteksi batu saluran empedu dan pankreas, striktur, ataupun dilatasi dalam sistem bilier. Ia juga sensitif untuk membantu mendeteksi kanker. MRCP dikombinasikan dengan pencitraan MRI konvensional pada daerah abdomen, juga dapat memberikan informasi tentang struktur sekitarnya (misalnya, pseudocysts, massa).

Meskipun ERCP dan MRCP mungkin sama efektif dalam mendeteksi obsruksi hilar dan perihilar ganas, MRCP telah terbukti lebih mampu menentukan luas dan jenis tumor dibandingkan dengan ERCP. Selain itu, tidak seperti ERCP, MRCP tidak memerlukan bahan kontras yang harus disuntikkan untuk memvisualisasikan sistem duktus, sehingga menghindari morbiditas terkait dengan penggunaan kontras.

Keterbatasan MRCP meliputi kontraindikasi yang sama MRI. Kontraindikasi absolut seperti pengguna alat pacu jantung, klip aneurisma serebral, implan mata atau koklea, dan benda asing pada mata. Kontraindikasi relatif meliputi pemakaian katup jantung prostetik, neurostimulators, prostesis logam, dan implan penis.

Bila ada stasis cairan di duodenum yang berdekatan atau dalam cairan asites dapat menghasilkan artefak gambar pada MRCP, sehingga sulit untuk secara jelas memvisualisasikan traktus bilier.

Risiko MRCP selama kehamilan tidak diketahui.

Meskipun MRCP saat ini tidak memiliki kemampuan untuk tujuan terapi seperti pada ERCP invasif, namun MRCP berguna untuk tujuan diagnostik dan menimbulkan risiko yang lebih kecil pada pasien bila dibandingkan dengan ERCP.

PROSEDUR PEMERIKSAAN KHUSUS UNTUK OBSTRUKSI BILIARIS

A. ERCP

ERCP merupakan prosedur rawat jalan yang menggabungkan modalitas endoskopi dan radiologi untuk memvisualisasikan baik sistem saluran empedu dan pankreas. Dengan endoskopi, ampula Vater diidentifikasi dan dikanulasi Agen kontras lalu disuntikkan ke saluran tersebut, dan gambar x-ray diambil untuk mengevaluasi kaliber, diameter dan  panjangnya.
ERCP-pada-obstruksi-biliaris

Metode ini terutama berguna untuk lesi distal mendekati bifurkasi dari saluran hati. Selain menjadi modalitas diagnostik, ERCP memiliki aplikasi terapeutik karena obstruksi berpotensi dapat dilepaskan dengan penyingkiran batu, sphincterotomy, dan penempatan stent serta drain. Penambahan cholangioscopy pada ERCP, dengan cara memasukkan lebih jauh teropong kecil melalui endoskopi ke dalam duktus komunis, memungkinkan dilakukannya biopsi dan brushings dalam duktus dan identifikasi yang lebih baik dari lesi yang terlihat pada cholangiogram.

ERCP memiliki keterbatasan untuk mengambil gambar traktus biliaris yang letaknya proksimal dari letak obstruksi. Selain itu, ERCP juga tidak dapat dilakukan jika terlah terjadi perubahan sanatomi yang menghalangi akses endoskopi ke ampula (misalnya, Roux loop).
ERCP-pada-batu-empedu

Komplikasi dari teknik ERCP ini meliputi pankreatitis, perforasi, peritonitis bilier, sepsis, perdarahan, dan efek samping dari kontras dan obat yang digunakan untuk merelaksasi duodenum. Risiko komplikasi kurang dari 10% sementara risiko untuk komplikasi yang berat kurang dari 1%.

Sensitivitas dan spesifisitas dari ERCP adalah 89-98% dan 89-100%. ERCP masih dianggap sebagai kriteria standar untuk pencitraan sistem bilier, terutama jika intervensi terapeutik direncanakan kemudian.

B. Percutaneous transhepatik cholangiogram (PTC)

PTC dilakukan oleh ahli radiologi menggunakan fluoroscopic sebagai pedoman. Hati dipunksi untuk memasuki sistem saluran empedu intrahepatik perifer. Lalu media kontras berbasis yodium disuntikkan ke dalam sistem bilier dan mengalir melalui saluran. Obstruksi kemudian dapat diidentifikasi pada monitor fluoroscopic.

Teknik ini terutama berguna untuk lesi yang letaknya proksimal terhadap duktus hepatik komunis.

Teknik ini tidak mudah dan membutuhkan pengalaman yang cukup. Lebih dari 25% dari upaya gagal (paling sering ketika saluran tidak dapat divisualisasikan dengan baik karena  tidak melebar, yaitu, tidak obstruksi.)
PTC-pada-cholangitis
PTC pada cholangitis

Komplikasi dari prosedur ini termasuk kemungkinan reaksi alergi terhadap media kontras, peritonitis dengan kemungkinan perdarahan intraperitoneal, sepsis, kolangitis, abses subphrenic, dan kolaps paru. Komplikasi berat terjadi pada sekitar 3% kasus.

Akurasi PTC dalam menjelaskan penyebab dan lokasi ikterus obstruktif adalah 90-100% untuk penyebab dalam saluran empedu. Traktus  empedu dapat berhasil divisualisasikan dalam 99% pasien dengan saluran empedu berdialtasi dan 40-90% jika saluran empedu tidak melebar. Namun, ERCP umumnya lebih disukai, dan PTC dicadangkan untuk digunakan jika ERCP gagal atau ketika anatomi berubah dan menghalangi ERCP mengakses ampula.

C. Endoskopi ultrasound (EUS)

EUS menggabungkan antara endoskopi dan USG untuk memberikan gambar  yang sangat rinci dari pankreas dan saluran empedu. EUS menggunakan gelombang ultrasonik frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan USG biasa (3,5 MHz vs 20 MHz) dan memungkinkan pengambilan sampel jaringan diagnostik melalui EUS yang dipandu aspirasi jarum halus (EUS-FNA).
endoskopik-ultrasound-pada-obstruksi-biliaris
endoskopik ultrasound pada obstruksi biliaris

Meskipun endoscopic cholangiography retrograde (ERCP) adalah prosedur pilihan untuk dekompresi bilier pada ikterus obstruktif, akses empedu tidak selalu dapat dicapai. Dalam kasus ini, kolangiografi dipandu endoskopi-USG intervensi (IEUC) dapat sebagai alternatif dari PTC (perkutan transhepatik cholangiography).
  • Maranki dkk melaporkan pengalaman 5 tahun dengan IEUC pada pasien yang tidak berhasil diterapi dengan ERCP.  Para peneliti menggunakan pendekatan baik transgastric-transhepatik atau transenteric-transcholedochal ke saluran empedu yang ditargetkan, kemudian memasukkan stent melalui kabel ke dalam saluran bilier.

    Dari 49 pasien yang menjalani IEUC, penyebab obstruksi bilier adalah keganasan ditemukan pada 35 orang, sedangkan 14 sisanya memiliki etiologi jinak. Empat puluh satu dari 49 pasien (84%) sukses diterapi secara keseluruhan dengan IEUC, dengan tingkat komplikasi keseluruhan 16%. Resolusi obstruksi memiliki tingkat keberhasilan 83% (n = 29).

    Pendekatan transenteric-transcholedochal digunakan pada 14 pasien, dengan empedu sukses di dekompresi 86% (n = 12). Tidak ada kematian terkait prosedur dilaporkan. Dengan demikian, secara keseluruhan, pendekatan intrahepatik berhasil 73% (29/40) dari seluruh kasus, dan pendekatan ekstrahepatik berhasil 78% (7/9) kasus.
  • Sebuah analisis retrospektif multicenter internasional memperlihatkan perbandingan hasil jangka pendek antara drainase bilier dipandu EUS dan ERCP pada 208 pasien dengan obstruksi duktus empedu komunis distal yang ganas, yang membutuhkan penempatan stent yang self-expandabel.

    Sembilan puluh tujuh dari 104 pasien (94,23%) yang menjalani drainase bilier dipandu EUS dan 98 dari 104 pasien (93,26%) yang menjalani ERCP, mendapatkan penempatan stent yang sukses (P = 1.00); masing-masing kelompok mengalami efek samping dengan frekuensi 8,65%, dan waktu prosedural rata-rata adalah hampir sama (35,95 menit vs 30,10 menit, P = 0,05). Namun, tingkat pankreatitis pascaprosedur ditemukan lebih tinggi pada kelompok ERCP (4,8% vs 0%, P = 0,059).

EUS telah dilaporkan memiliki akurasi diagnostik hingga 98% pada pasien dengan ikterus obstruktif. Hal ini membuat ERCP  tidak diperlukan pada pasien yang tidak memiliki obstruksi ekstrahepatik. Selain itu, pasien yang mungkin memerlukan operasi drainase bilier, juga tidak perlu menjalani ERCP untuk evaluasi lebih lanjut.

EUS memberikan pencitraan yang sangat rinci dari pankreas. Sensitivitas EUS untuk identifikasi lesi massa fokal telah dilaporkan lebih tinggi dari CT scan, baik CT Scan konvensional maupun spiral, terutama untuk tumor yang lebih kecil dari 3 cm.

Dibandingkan dengan MRCP untuk diagnosis striktur bilier, EUS telah dilaporkan lebih spesifik (100% vs 76%) dan memiliki nilai prediksi positif yang jauh lebih besar (100% vs 25%), meskipun keduanya memiliki sensitivitas sama (67 %).

Baik USG transabdominal  maupun CT scan,keduanya tidak dapat membantu menyingkirkan adanya choledocholithiasis. ERCP sangat akurat untuk diagnosis ini, tetapi, karena risiko terkait pankreatitis, umumnya sebagai pilihan kedua untuk pasien dengan batu duktus komunis. EUS telah dilaporkan memiliki sensitivitas kurang lebih sama dengan baik ERCP dan MRCP untuk mendeteksi batu duktus komunis, dengan risiko lebih minimal terkait dengan prosedur.

EUS lebih portabel daripada ERCP atau MRCP dan berguna untuk pasien di unit perawatan intensif. EUS (jika dilakukan di ruang fluoroskopi) dapat segera diikuti oleh ERCP terapeutik, yang menghemat waktu.

Hasil positif dari EUS-FNA untuk sitologi pada pasien dengan obstruksi ganas telah dilaporkan setinggi 96%.

Artikel terkait :
OBSTRUKSI BILIARIS : PATOFISIOLOGI
OBSTRUKSI BILIARIS : PENYEBAB, PEMERIKSAAN FISIS DAN DD
OBSTRUKSI BILIARIS : PEMERIKSAAN PENUNJANG
OBSTRUKSI BILIARIS : TERAPI DAN TATALAKSANA